RUU Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pemilukada) yang sementara dibahas di DPR memuat beberapa isu yang menarik didiskusikan secara akademis. Satu diantaranya tentang format pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Jika awalnya gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, maka draft RUU Pemilukada mewacanakan pemilihan gubernur, bupati dan walikota dikembalikan ke Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Isu ini kemudian mengundang perdebatan. Menggiring sejumlah pihak yang berkepentingan dalam arus pro dan kontra. Namun dari sekian banyak komentar yang mengemuka, pertanyaan kunci terkait wacana ini tidak bisa dilepaskan dari satu pertanyaan besar, dimana posisi daulat rakyat? Pertanyaan ini harus dijawab, agar demokrasi pemilihan tidak hanya menjadi ajang transaksi elit.
Problem Otoda
Tak bisa dipungkiri, banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus hukum, utamanya korupsi, menjadi alasan kuat wacana pemilihan gubernur, bupati dan walikota dikembalikan ke DPRD. Ramainya pemberitaan penangkapan KPK terhadap sejumlah kepala daerah, mulai level gubernur hingga bupati dan walikota menjadi ‘legitimasi opini’ untuk mendesakkan wacana ini. Apalagi pasca penahanan Gubernur Banten, Atut Chosiyah oleh KPK belum lama ini.
Otoda kemudian dituding sebagai ‘kambing hitam’. Tudingan ini cukup beralasan mengingat pemilukada berada dibawah rezim UU No 32 Tahun 2004 (UU Pemda/UU Otoda), berbeda dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden yang merupakan rezim pemilu. Oleh karena berada dibawah rezim Otoda, wacana pemilihan gubernur, bupati dan walikota oleh DPRD dalam draft RUU Pemilukada, tidak bisa dilepaskan dari problem pelaksanaan Otoda selama ini.
Dari banyak masalah terkait pelaksanaan Otoda, isu korupsi kepala daerah menjadi topik utama. Jika dikaitkan dengan wacana pemilihan gubernur, bupati dan walikota oleh DPRD dalam draft RUU Pemilukada, isu ini cukup kuat. Bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung yang selama ini memakan biaya mahal, rawan memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kepala daerah.
Lihat saja, hingga penghujung tahun 2013, sudah ratusan kepala daerah tersandung korupsi. Ironisnya, kepala daerah ini lahir dari proses pemilihan langsung. Mahalnya ongkos politik yang harus dikeluarkan selama mengikuti proses pemilukada memicu kepala daerah terpilih menyalahgunakan kekuasaannya. Ketika terpilih, sang kepala daerah berpikir untuk mencari pengganti ongkos politik yang keluar selama ini.
Penyalahgunaan APBD dan izin investasi; pertambangan, perkebunan dan izin investasi lainnya menjadi lahan empuk korupsi kepala daerah. Korupsi dana Bansos oleh Gubernur Banten Atut Chosiyah dan penyalahgunaan izin investasi oleh mantan Bupati Buol Amran Batalipu menjadi tesis otentik dalam isu ini.
Korupsi kepala daerah merupakan imbas dari desentralisasi kekuasaan yang tidak terkontrol dengan baik, baik oleh undang-undang, maupun oleh perangkat atau institusi sosial-politik lainnya di daerah, seperti DPRD, LMS/NGO Lokal dan masyarakat umum. Besarnya kewenangan yang dimiliki seorang kepala daerah, tidak dibarengi dengan pengawasan dan standar pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah yang efektif. Akibatnya, Otoda seakan ‘menjebak’ kepala daerah dalam jaring korupsi.
Berkaca pada rezim Orba dulu. Saat Orba berkuasa dengan watak sentralistiknya, kekuasaan terpusat pada satu tangan; Soeharto dan kroninya. Akibatnya, sumber-sumber politik dan ekonomi negara hanya berputar pada segelintir orang. Daerah tidak diberikan akses luas untuk mengelola kemandiriannya.
Saat Orba runtuh, pemerintahan masa transisi menerbitkan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lazim disebut UU Otoda) untuk mengobati ‘luka’ daerah dan untuk menyempurnakan beberapa kesalahan dalam UU Pemda sebelumnya (UU No 5 Tahun 1974). UU itu membuka kran desentralisasi kekuasaan sebesar-besarnya. Desentralisasi melalui asas ‘otonomi’ menjadi kata kunci yang diberikan pusat ke daerah untuk mengelola kemandirian daerahnya.
Namun reformasi politik dibidang UU Pemda itu menjadi tidak terkontrol dan kebablasan. Tujuan awalnya sangat baik, yaitu agar daerah mampu bersaing dan mengelola daerahnya dengan dasar kemandirian. Akan tetapi, kekuasaan yang terlampau besar yang kemudian diperparah dengan mekanisme kontrol yang kurang menyebabkan kekuasaan tersebut disalahgunakan.
Fenomena tersebut menguatkan dalil Mansur Olson tentang “Political Bandit.” Olson – seorang yang menentang kediktatoran – mengemukakan teori tentang “roving bandit” dan “stationary bandit.” Ia menggambarkan bahwa, dulu ada seorang bandit, bandit besar (stationary bandit). Bandit besar ini dengan semua kemampuannya, menguasai hampir seluruh kekayaan diwilayah tersebut. Pada masa sang bandit besar tersebut berakhir, muncul bandit-bandit kecil (roving bandit) yang menguasai beberapa wilayah sesuai dengan otoritasnya masing-masing. Olson benar, Otoda yang kebablasan ternyata melahirkan ‘bandit-bandit kecil’ yang hanya bisa memperkaya diri.
Pertahankan Daulat Rakyat
Beragam masalah tersebut cukup kuat menjadi dasar wacana pemilihan gubernur, bupati dan walikota oleh DPRD. Namun bukan berarti semua alasan tersebut lantas diterima mentah-mentah. Perlu dikaji dan diperdebatkan secara akademik agar daulat rakyat tidak tereliminasi kepentingan elit semata.
Memang benar, bahwa pemilihan melalui DPRD juga dianggap ‘demokratis’, karena wakil rakyat yang duduk disitu juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Sistem demokrasi tidak hanya mengenal demokrasi langsung, tetapi juga demokrasi perwakilan. Namun jika menelisik teori pure demokrasi, bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (from, by and for people) maka jelas demokrasi langsung adalah sistem terbaik. Karena melibatkan masyarakat secara keseluruhan dalam menggunakan hak pilih, termasuk hak untuk dipilih. Dalam konteks ini, doktrin bahwa “demokrasi adalah aspirasi mayoritas” adalah benar adanya.
Selain itu, visi untuk membangun masyarakat yang sadar dan tertib politik juga akan terhambat dengan berlakunya klausul tersebut. Jika gubernur, bupati dan walikota dipilih melalui DPRD, maka hubungan antara gubernur, bupati dan walikota sebagai ‘abdi’ dan rakyat sebagai pihak yang dilayani akan renggang. Rakyat tidak terlalu merasa terikat untuk taat dan patuh kepada apa yang diperintahkan oleh gubernur, bupati dan walikota. Secara berseloroh, rakyat akan mengatakan “anda kan wakil partai, bukan wakil kami!”
Ketentuan ini juga bertentangan dengan makna kedaulatan rakyat dan penyaluran hak sipil-politik warga negara. Pasal 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Apalagi pada 2005 lalu kita telah meratifikasi International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No 12 Tahun 2005. Salah satu ketentuan dalam ICCPR adalah terkait hak untuk memilih.
Saya khawatir, klausul ini rawan di gugat ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap telah mengeliminasi kedaulatan rakyat. Bagaimana negara mempertanggungjawabkan semuanya; biaya dan wibawa, jika seandainya, UU ini akhirnya ‘rontok’ di MK. Jadi pemerintah harus cermat memikirkan hal ini, agar sekali lagi, posisi daulat rakyat tidak tereliminasi oleh kepentingan elit semata.
Dimuat di Koran Media Indonesia, 28 Desember 2013