Dari Reformasi ke Revitalisasi: Upaya Mengembalikan Wibawa Hukum

Koran FAJAR, 17 Maret 2010
Oleh: Wiwin Suwandi
Pengamat Hukum dan Politik Pemerintahan


Sebelas tahun sudah kita lalui dalam upaya rekonstruksi untuk memurnikan idealisme hukum kita dari virus Orba. Rekonstruksi paradigma hukum pasca reformasi ’98 yang dimulai dari amandemen pertama UUD 1945 pada 1999 silam adalah upaya awal bagaimana sistem hukum kita lebih demokratis. Beragam konsep telah dijalankan. Dari sentralisasi ke desentralisasi. Dari otoritarian ke demokratisasi, liberalisasi politik menjadi wacana yang lantang disuarakan. Pada titik ini kemudian, paham konstitusionalisme modern ini mulai dikembangkan di Indonesia. Konstitusi yang menekankan supremasi hukum diatas segalanya.
Dalam konstruksi hukum di Indonesia, konstitusi menjadi pintu masuk bagi penerapan hukum tersebut. Konstitusi, dalam hal ini UUD 1945 secara tertulis telah memberi rule bagaimana agar penyelenggaraan pemerintahan Negara itu harus selalu mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi atau kelompok. Karena konstitusi dibuat atas dasar kepentingan umum, bukan pribadi atau kelompok.
Namun apa yang terjadi dalam kurun waktu dua tahun terakhir (2009-2010) sungguh jauh panggang dari api. Idealisme konstitusi di indonesia diuji dengan berbagai masalah. Mulai dari kasus Prita, KPK, hingga Century yang telah memunculkan demonstrasi dan kerusuhan dimana-mana sejatinya telah memberi sinyal kuning bagi kelangsungan penegakan hukum di Indonesia. Penyelenggaraan pemerintahan menjadi “macet” karena seluruh energi terfokus pada satu isu yang juga sebenarnya menguntungkan pihak lain secara politis. Mulai dari obrolan warung kopi, lesehan pinggir jalan hingga lobi hotel bintang lima mengupas topik Century sebagai menu utama.
Dalam sudut pandang yang plural, masyarakat kemudian menilai dan mengambil kesimpulan atas apa yang terjadi, yang tidak sedikit diantaranya menghakimi hukum sehingga hukum menjadi pesakitan dan ‘diadili’. Para sarjana hukum, mulai yang bergelar S1 hingga guru besar. Mulai yang bergelar “pengangguran” hingga yang sudah menduduki jabatan selalu ditanya oleh masyarakat awam, kenapa hal itu bisa terjadi?
Benarkah hukum kita sejahat itu? Jika jawabannya adalah TIDAK, maka bagaimana (kita sebagai pelaku hukum) menjelaskan pada masyarakat atas beragam kasus diatas. Akankah kita membohongi masyarakat dengan mengatakan bahwa kondisi hukum di Indonesia baik-baik saja, berada dalam kondisi fit alias tidak terkena penyakit “muntaber” sementara dalam kenyatannya hukum di Negara kita (memang) lagi terserang penyakit muntaber sehingga sering “mencret”?
Kemudian, kalaupun kita (secara ksatria) mengatakan YA, sudahkah kita melakukan instropeksi atas apa yang telah terjadi? Instropeksi secara personal dengan melakukan revitalisasi moral untuk menjadi penegak hukum yang berintegritas dan kredibel, kemudian dilanjutkan dengan revitalisasi secara struktural-kelembagaan dengan melakukan reformasi institusi, merekrut yang bersih dan membuang yang kotor dan “bervirus”. Kemudian setelah itu, ramuan apa yang akan digunakan untuk mengobati penyakit “muntaber” dunia hukum kita saat ini agar tidak terjadi lagi selanjutnya?

Keniscayaan Konsep Revitalisasi
Ketika mendiskusikan problematika masalah hukum di Indonesia, banyak orang menyodorkan konsep reformasi. Ada yang menggagas reformasi total, ada pula usulan konsep reformasi setengah-setengah. Pertanyaan yang lahir kemudian. Apakah selamanya solusi atas keterpurukan hukum adalah dengan mewacanakan REFORMASI? Benarkah reformasi menjadi kartu As solusi atas keterpurukan hukum di Indonesia? Jika jawabannya adalah YA, mengapa 11 tahun perjalanan reformasi pasca ’98, keterpurukan hukum kita masih terlihat. Lantas apa masalahnya? Mungkinkah reformasi dikambinghitamkan atas masalah-masalah hukum yang terjadi akhir-akhir ini?
Saya pikir sangat tidak bijaksana jika reformasi dikambinghitamkan atas masalah hukum yang terjadi saat ini. Reformasi bukan tujuan. Ia hanyalah pintu gerbang menuju kehidupan kenegaraan yang lebih baik sebagai tujuan utama. Secara ksatria kita harus mengapresiasi upaya dari tokoh yang berhasil melahirkan reformasi. Karena jika tidak, maka sampai saat ini kita masih hidup di zaman jahiliyah Orba.
Menjawab masalah atas keterpurukan hukum di Indonesia tidak hanya mengandalkan hukum secara normatif, yang terkadang juga sering dilanggar oleh pelaku hukum itu sendiri. Kasus korupsi dan penyuapan yang melibatkan aparat penegak hukum adalah masalah moral dan persoalan rekrutmen personal yang nepotis. Bukan karena kita kekurangan pasal untuk menjerat pelaku korupsi maupun menekan praktek korupsi. Berarti solusinya lebih pada revitalisasi moral dan sistem. Merekonstruksi ulang bangunan sistem hukum kita harus menekankan pada pembentukan moral dan mental aparat hukum yang berintegritas. Jadi konsep menjadi bergeser dari reformasi ke revitalisasi.
Empat komponen utama dalam sistem penegakan hukum; hakim, polisi, jaksa dan pengacara adalah pemegang kartu As berhasil atau gagalnya upaya penegakan hukum di Indonesia. Kenapa? Karena keempat komponen ini adalah pemain utama dunia hukum. Mereka adalah pendekar-pendekar hukum yang harus bekerja bersama, bahu membahu dalam upaya penegakan hukum.
Berarti revitalisasi dimulai dari keempat komponen ini. Kenapa? Karena disitulah awalnya. Awal dari keberhasilan penegakan hukum mulai dilaksanakan. Juga sekaligus awal kehancuran sistem hukum jika kendali hukum dipegang oleh penguasa lalim yang tidak berperikemanusiaan.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Pencabutan Perda Melalui Executive Review

Wiwin Suwandi (pegiat tata negara dan anti korupsi)

Tribun Timur (Jum,at 24 Juni 2016) menurunkan berita sikap sejumlah daerah di Sulsel yang mempertanyakan alasan pencabutan Peraturan Daerah (Perda) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sulsel sendiri tercatat membatalkan 31 Perda karena dipandang menghambat investasi. 31 Perda ini merupakan bagian dari 3.143 Perda secara nasional yang dicabut atau dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo dalam keterangan resminya belum lama ini.

Pembatalan ini menimbullkan polemik. Sejumlah daerah menentang dengan mempertanyakan alasan pencabutan. Sebuah sikap yang menarik untuk diamati pasca peralihan rezim dari sentralistik ke desentralistik melalui pemberlakuan kebijakan Otda. Meskipun dalam kenyataannya politik Otda yang diberikan adalah Otda “terbatas”, bukan Otda yang “tidak tak terbatas”. Penulis hendak mengkaji aspek konstitusionalitas pencabutan Perda melalui executive review.

Tafsir UU Pemda

Peraturan Daerah (Perda) Propinsi/Kab/Kota adalah produk hukum yang dibuat oleh pemerintah daerah (Propnsi/Kab/Kota) bersama Dewan Perwakilan  Rakyat Daerah (Propnsi/Kab/Kota) sebagai “satu kesatuan pemerintahan daerah” (Pasal 1 ayat (2) UU No 23/2014). Dalam hierarki perundang-undangan, Perda dibawah UUD, UU, Tap MPR, PP, dan Perpres (Pasal 7 ayat 1 UU No 12/2011). Oleh karenanya, Pembuatan Perda harus merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan payung hukum diatasnya, sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat 1 UU No 12/2011 diatas. Dalam hukum, hal ini dikenal dengan asas lex superior derogate legi inferior.

Selama proses pembuatan rancangan Perda (Ranperda), UU Pemda memberikan kewenangan executive review kepada Mendagri dan Gubernur untuk mengasistensi (sinkronisasi dan harmonisasi) draft Ranperda sesuai kewenangan masing-masing. Mendagri terhadap draft Ranperda Propinsi (Pasal 245 ayat (1), dan Gubernur terhadap draft Ranperda Kab/Kota (Pasal 245 ayat 3). Executive review adalah uji materi terhadap produk hukum yang bersifat hierarkis yang dibuat oleh eksekutif dari Pusat hingga daerah. Dalam konteks ini yang diperkenalkan istilah “control internal” yang dilakukan oleh pihak itu sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk regeling (peraturan) maupun beschikking (keputusan) (Effendi Lotulung; 2000). Jadi pembatalan Perda ini merupakan bentuk executive review sebagai wewenang eksekutif.

Persoalannya, UU Pemda memuat titik singgung terkait kedua wewenang ini. Pada satu sisi, menugaskan pemerintah daerah propinsi, dalam hal ini Gubernur untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap perda dalam lingkup daerah otonominya, tapi pada saat bersamaan juga memberikan wewenang kepada Gubernur mencabut Perda tersebut. Hal mana UU Pemda juga menugaskan Kemendagri untuk melakukan harmonisasi, sinkronisasi terhadap Perda Propinsi (Pasal 245 ayat (1) sekaligus juga bisa membatalkan (Pasal 251 ayat (1).

Sehingga dalam kaca mata politik Otda, UU Pemda memberikan “kuasa ganda” kepada Kemendagri dan Gubernur; sebagai pembentuk perda secara pasif (dalam bentuk sinkronisasi dan harmonisasi), sekaligus aktif (mencabut Perda). Padahal Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 telah memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan melakukan uji materi terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dalam hal ini adalah Perda Propinsi/Kab/Kota.

Perbedaannya, jika judicial review terhadap Perda oleh MA untuk menguji ada tidaknya konflik norma (materil), serta menguji aspek formalnya, sedangkan executive review oleh pemerintah dalam hal tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi daripada peraturan daerah tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum.

Dalam praktek pembuatan Perda Propinsi/Kab/Kota, UU Pemda No 23/2014 menempatkan.  Gubenur sebagai “wakil Pemerintah Pusat”. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari konstruksi Pasal 18 UUD 1945 pasca amandemen yang membagi daerah; Pusat, Propinsi dan Kab/Kota dalam nafas “negara kesatuan” (Belanda: staatvormen). Sehingga hubungan antara Presiden, Mendagri, dan Gubernur adalah hubungan yang hierarkis, kooordinatif dan instruktif.

Hubungan ini kemudian memberikan wewenang kepada Mendagri dan Gubernur untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kab/Kota (Pasal 245), sekaligus juga berwenang membatalkan Perda (Pasal 252 ayat (2). Pasal ini menyebutkan bahwa  “Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.”

Pasal 252 UU Pemda tersebut memiliki titik singgung dengan Pasal 245 ayat (3) yang memberikan wewenang kepada Gubernur dan Pasal (Pasal 245 ayat (1) yang memberikan wewenang kepada Mendagri untuk melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda). Pasal 252 tersebut berbunyi “Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota.” Evaluasi dalam hal sinkroninasasi dan harmonisasi perda dengan payung hukum diatasnya dan peraturan terkait lainnya, sebelum perda tersebut ditetapkan oleh Bupati/wali kota.

Dimuta di harian Tribun Timur.

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Menafsir Ulang Nasionalisme Kita

“Nasionalisme harga mati!”. Jika itu pesan yang hendak disampaikan Presiden Jokowi ketika memutuskan untuk memberhentikan dengan hormat Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM, maka kita tidak usah berdebat seputar kewarganegaraan ganda Arcandra. Hukum kewarganegaraan kita yang diatur dalam UU No 12 Tahun 2006 memang tidak menganut kewarganegaraan ganda (dwi kewarganegaraan). Kita sepakat dan mendukung keputusan Presiden. Meskipun konstitusi pascaamendemen meletakkan hak prerogatif Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri (Pasal 17), akan tetapi hak prerogatif nyatanya “tidak tak terbatas.” Dalam kasus Arcandra, yang membatasi hak prerogatif Presiden adalah “nasionalisme” yang tersirat dalam UU Kewarganegaraan.

Soal mengangkat dan memberhentikan menteri itu biasa dalam praktek ketatanegaraan di semua negara. Persoalannya ketika Istana maupun Presiden Jokowi tidak menyinggung atau menyebut kata “nasionalisme” sebagai alasan memberhentikan Arcandra. Meskipun dikatakan bahwa status Arcandra yang berkewarganegaraan ganda melanggar UU Kewarganegaraan. Dalam kasus Arcandra, Penulis memandang isu nasionalisme ini penting. Apakah pemberhentian Arcandra murni karena alasan nasionalisme, atau karena didorong faktor lain. Mengingat jabatan menteri ESDM sangat strategis, kaitannya dengan isu “kedaulatan energi” dan isu “neolib” yang sering dikampanyekan kelompok kiri. Apalagi jika dihubungkan dengan kebijakan Presiden Jokowi yang membuka kran seluas-luasnya bagi masuknya modal asing, tidak terkecuali dalam sektor energi.

Sebagai seorang professional dalam isu energi, Arcandra memiliki rekam jejak baik. Ia berkarir lebih 20 tahun sebagai Profesional di Amerika. Point ini menjadi pertimbangan orang-orang dalam lingkaran Presiden Jokowi ketika menyodorkan namanya. Satu-satunya “kesalahan” Arcandra adalah memegang paspor Amerika sehingga bertentangan dengan UU kewarganegaraan. Sistem hukum Amerika menganut kewarganegaraan ganda, akan tetapi tidak untuk Indonesia. Mimpi Arcandra untuk mengembangkan sektor energi Indonesia, akhirnya kandas oleh UU Kewarganegaraan.

Menafsir Ulang

Kasus Arcandra yang menyinggung isu nasionalisme penting diletakkan secara proporsional, cara pandang kita tentang “nasionalisme” itu. Kita patut meragukan nasionalisme Arcandra yang memiliki kewarganegaraan ganda, diluar kapasitas dia sebagai seorang professional. Ia tidak memiliki catatan kriminal, sebagai pengemplang pajak atau korupsi misalnya. Kesalahannya hanya karena memiliki paspor Amerika. Jika premisnya demikian, maka semua orang yang memiliki kewarganegaraan ganda tidak nasionalis. Demikian pula halnya, warga negara Indonesia yang tidak memiliki kewarganegaraan ganda adalah seorang nasionalis. Apakah begitu?

Jika kata “nasionalisme” hanya diletakkan secara sempit dalam konteks kewarganegaraan ganda, maka warga negara Indonesia yang memiliki catatan criminal, termasuk yang melakukan kejahatan serius, korupsi, narkoba, pencucian uang, terroris, human trafficking, misalnya, adalah seorang yang nasionalis. Orang-orang yang terlibat dalam skandal “Papa Minta Saham” PT Freeport beberapa waktu lalu juga adalah nasionalis. Padahal telah secara terang-terangan hendak menjual negara ke pihak asing demi untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.  Orang-orang berstatus wakil rakyat, yang tidak pernah kehilangan akal menyiasati bagaimana cara uang negara dikorupsi melalui berbagai kemudahan proyek, tidak pernah berpikir tentang nasionalisme. Karena barangkali nasionalisme menurut mereka adalah memupuk kekayaan sebanyak-banyaknya dengan cara melawan hukum. Tidak peduli akibat perbuatannya itu, kaum papa kehilangan haknya. Negara hancur, rakyat menderita.

Pada konteks ini, penting kiranya merevitalisasi isu nasionalisme dengan cara meletakkannya secara tepat sebagai sikap dan perilaku menjaga nama baik bangsa dan negara. Nasionalisme sudah ditunjukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan keberaniannya menenggelamkan kapal-kapal asing yang kedapatan mencuri ikan di perairan Indonesia. Meski mendapat perlawanan, termasuk dari kalangan penguasa sendiri, Susi tidak mundur dari kebijakannya. Karena menurutnya, menyelamatkan sumberdaya alam laut dari perampokan dan pencurian, sama halnya dengan menegakkan kedaulatan dan harga diri bangsa dan negara. ia tidak hanya menyelamatkan nelayan lokal, tapi menyelamatkan Indonesia.

Nasionalisme itu ketika para aktivis lingkungan mengkampanyekan isu kelestarian lingkungan dalam berbagai kasus pencemaran lingkungan yang terjadi. Kebakaran hutan di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dan isu-isu terkait lingkungan lainnya. Nasionalisme itu kita menolak monopoli asing dalam penguasaan sektor SDA, energi dan minerba. Nasionalisme itu ketika kita marah hutan kita dibabat habis, dan kekayaan laut kita dirampok habis. Nasionalisme itu ketika kita marah saat pulau kita hendak dikuasai negara lain. Nasionalisme itu ketika kita marah ada pejabat yang perilakunya merendahkan harga diri bangsa dimata bangsa lain.

Nasionalisme itu ketika kita marah ada TKI yang diperlakukan semena-mena dinegara lain. Nasionalisme itu ketika kita lebih memilih dan bangga menggunakan produk lokal daripada produk impor. Nasionalisme itu ketika, kita tidak melakukan atau menyuruh melakukan korupsi, serta tidak berpikir permisif terhadap laku korupsi yang sudah menggurita.

Hanya dengan cara begitu, martabat dan harga diri bangsa bisa dipulihkan dan ditegakkan. Hanya dengan cara begitu, revolusi mental bisa berhasil.

Wiwin Suwandi (pegiat tata negara dan anti korupsi di http://www.acc-sulawesi.or.id/)

Tulisan ini terbit di Koran Tribun Timur, Jum’at 19 Agustus 2016.

 

 

 

 

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Menakar Kualitas Calon Wakil Rakyat

Media Indonesia, Kamis 10 APril 2014

Wiwin Suwandi

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Makassar. Peneliti Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas.

Gegap gempita pemilu menyebar seantero negeri. Mesin parpol sudah bergerak sejak jauh hari untuk mengkampanyekan partai dan tokoh yang dinilai layak jual dan mampu menjaring suara massa secara massif.  Pemilu legislatif tersisa beberapa hari lagi. Pada 9 April nanti, kita akan menuju bilik suara untuk memilih figur yang kita yakini layak untuk mewakili aspirasi kita di parlemen. Sementara tiga bulan kemudian, pada 9 Juli, kita akan memilih pemimpin yang akan menakhodai bangsa ini selama lima tahun kedepan.  

Memang benar, bahwa salah satu ukuran kesuksesan pelaksanaan pemilu adalah kinerja penyelenggara pemilu; KPU dan Bawaslu. Sejauhmana KPU dan Bawaslu serta perangkat dibawahnya bekerja secara maksimal dan independen berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Namun juga perlu diingat, bahwa pemilu bukan saja soal regulasi dan hitung-hitungan angka; jumlah parpol peserta, besaran biaya kampanye, partisipasi pemilih atau ukuran kuantitas lainnya. Pemilu hendaknya dilihat dari satu desain besar filosofi bernegara. Sejauhmana hasil pemilu teruji secara kualitas. Salah satunya dengan mengevaluasi kinerja wakil rakyat. Terkait evaluasi ini penting, agar posisi daulat rakyat tidak tereleminasi kepentingan elit semata.

Cacat Wakil Rakyat

Selama pelaksanaan dua kali pemilihan umum; 2004 dan 2009, kritik terhadap kinerja wakil rakyat sangat lantang disuarakan terhadap tiga fungsi yang dijalankan; legislasi, pengawasan dan anggaran. Ketiga fungsi ini dipandang tidak maksimal, hingga pada satu kesimpulan yang ekstrim; gagal.

Dalam bidang legislasi, banyaknya undang-undang yang rontok di Mahkamah Konstitusi (MK) menimbulkan kritik terhadap kualitas anggota dewan hasil pemilu. Padahal tidak sedikit dari 560 anggota dewan ini memiliki pangkat akademik yang tinggi, mulai dari magister, doktor, hingga profesor.

Pada tahun 2012 misalnya, sebanyak 29 persen produk undang-undang dibatalkan MK. MK menyidangkan 97 permohonan pengujian undang-undang. Dari jumlah itu, sebanyak 30 permohonan dikabulkan MK (artinya UU tersebut dibatalkan). Angka yang hampir setara dengan jumlah RUU yang disahkan menjadi UU dalam prolegnas tahunan.

Undang-undang yang dibatalkan MK itu menyentuh soal aspek formil dan materil. Lebih banyak pada aspek materil atau muatan substansi. Dengan demikian kita bisa mengukur kualitas anggota dewan yang dibawah rata-rata.

Target legislasi juga gagal diwujudkan. Bahkan tidak sampai setengah dari target undang-undang yang ditetapkan dalam prolegnas. Pada masa kerja DPR periode 2004-2009, sebanyak 248 RUU telah disahkan sebagai agenda legislasi DPR. Namun realisasinya DPR hanya mampu mengesahkan rata-rata 36 RUU pertahun. Artinya, selama lima tahun, DPR hanya mampu menyelesaikan 180 RUU menjadi UU. Sangat jauh dari target prolegnas.

Penyakit itu kambuh lagi pada DPR periode 2009-2014. Sebagai contoh, target legislasi DPR untuk tahun 2010 sebanyak 70 RUU prioritas. Namun realisasinya hanya 18 RUU yang disahkan menjadi UU. Dari 18 RUU tersebut, hanya 8 UU yang masuk dalam daftar Prolegnas, sementara sisanya adalah UU kumulatif terbuka, seperti UU yang terkait dengan APBN serta UU ratifikasi dengan negara lain. Artinya, DPR masih memiliki tunggakan 41 RUU yang tidak selesai.

Pada fungsi anggaran (budget). Terbukti jika fungsi ini banyak disalahgunakan. Terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan dua anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Wa Ode Nurhayati dan Nazaruddin menguatkan tesis bahwa Banggar DPR hanya menjadi “mesin ATM Parpol”. Belum lagi kasus lain yang diduga melibatkan anggota Banggar DPR yang sementara disidik oleh KPK.

Bahkan dalam kasus korupsi Dana DPID yang melibatkan Wa Ode, anggota DPR jauh keluar dari batas kewenangannya. Anggota DPR sampai mengurusi hal teknis pengerjaan proyek DPID yang merupakan wilayah eksekutif. Lebih mengagetkan lagi ketika perusahaan pelaksana proyek di daerah yang menggunakan dana DPID adalah perusahaan anggota DPR. Ini sudah masuk pada indikasi KKN.    

Masalah juga muncul pada aspek pengawasan. Banyak isu-isu strategis yang seyogianya menjadi ruang bagi DPR untuk melakukan fungsi pengawasan yang efektif namun tidak digunakan. Ini diakibatkan karena fungsi pengawasan yang merupakan kewenangan konstitusional DPR tereliminasi oleh adanya Sekretariat Gabungan (Setgab). Akumulasi kepentingan yang dikelola dalam Setgab ini telah mereduksi fungsi pengawasan DPR yang merupakan kewenangan konstitusional DPR yang bersumber dari konstitusi (UUD 1945) dan mandat konstituen (rakyat) yang memilihnya. Akibatnya kepentingan rakyat terabaikan.

Mirisnya kinerja wakil rakyat ini berbanding terbalik dengan besarnya alokasi anggaran yang diberikan APBN. Catatan dari Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan bahwa total anggaran DPR periode 2004-2009 sebesar Rp 6,54 triliun. Sekitar Rp 3,8 triliun anggaran itu habis untuk belanja barang dan kebutuhan operasional, dan 30 persen anggaran untuk tunjangan, gaji, dan honor. Penyerapan aspirasi masyarakat hanya 0,2 persen (www.antikorupsi.org).

Fakta tersebut belum termasuk dengan kebiasaan buruk anggota dewan yang suka membolos rapat, tidur, atau asyik mengutak-atik gadget sambil bermain video game saat rapat sedang berlangsung. Ironisnya, lebih dari separuh anggota DPR sekarang mencalonkan diri lagi.

Menakar Kelayakan

Kondisi demikian memunculkan satu pertanyaan besar, apa yang diharapkan pada Pemilu 2014 ini ketika anggota DPR dengan kualitas yang sama kembali mencalonkan diri dan menawarkan janji-janji manis kampanye?

Selama ini konsep pemilu kita terjebak pada mekanisme electoral, apakah soal parliamentary treshold maupun presidential treshold. Dua isu utama ini yang selalu menimbulkan kegaduhan politik pada setiap pembahasan paket undang-undang politik; UU Parpol, UU Pilpres dan UU MD3. Padahal persoalan pemilu tidak sesederhana dan sesempit itu, karena jika demikian, kita hanya melaksanakan pemilu kuantitas yang hanya berputar pada angka dan data, bukan pemilu berkualitas.

Karena kualitas pemilu bukan diukur pada sukses tidaknya KPU dan Bawaslu menyelenggararakan pemilu serta regulasi terkait pemilu itu dilaksanakan dengan baik, tapi sejauhmana hasil dari pemilu itu dapat mewujudkan masyarakat yang adil sejahtera sebagaimana amanah Pancasila dan UUD 1945.

Pada titik ini kemudian gugatan terhadap kinerja wakil rayat itu muncul. Untuk mempertanyakan kinerja wakil rakyat yang katanya memperjuangkan nasib rakyat itu, sementara pada kenyataannya mereka abai terhadap kebutuhan rakyat. Jadi seharusnya, sebelum para wakil rakyat itu kembali hadir dihadapan konstituennya dengan ribuan janji manis kampanye, mereka harus mempresentasikan proposal kinerja mereka dihadapan konstituennya. Pada saat itu, baru rakyat akan menilai layak tidaknya mereka kembali dipilih (diutus) untuk memperjuangkan kepentingan mereka, rakyat sang pemilik kedaulatan.

 

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

KY BUKAN SUB-ORDINAT KEKUASAAN KEHAKIMAN

Putusan MK dalam Pengujian Undang-Undang (PUU) No 4/2014 yang dibacakan pada Kamis (16/02/2014) lalu patut dicermati secara kritis-akademis. Menempatkan dirinya sebagai ‘penafsir tunggal konstitusi’, dalam putusannya MK mengatakan bahwa semua pokok permohonan merupakan ‘jantung’ atau substansi inti dari UU No 4 Tahun 2014.  MK memutus mengabulkan semua permohonan. Itu artinya, UU No 4 Tahun 2014 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional).

 

Termasuk yang diatur dalam undang-undang tersebut; pembentukan panel ahli, majelis kehormatan hakim (MKH), dan syarat tujuh tahun tidak menjadi anggota parpol bagi calon hakim konstitusi, akhirnya batal diwujudkan.

 

Terus terang, dalam pengamatan penulis, putusan MK ini ‘rumit’ dipahami alur logika dan interpretasi hukumnya. Meskipun secara positif MK berhasil ‘membebaskan’ dirinya dari intervensi kekuasaan lain (pemerintah/eksekutif) sebagai akibat terbitnya Perppu No 1 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4 Tahun 2014. Status ‘genting dan memaksa’ itu juga tidak cukup kuat sebagai alasan keluarnya Perppu karena UU MK mengatur masih bisa bersidang dengan 7 (tujuh) orang hakim (minimal).

 

Rumit, karena asas universal, “nemo judex in re sua” yang berlaku dalam kekuasaan kehakiman, bahwa ‘hakim tidak boleh menilai dirinya sendiri’ secara terang dilanggar oleh MK ketika memutus Perppu ini (termasuk sejumlah putusan lain yang juga menyentuh langsung MK). “Nemo judex in re sua” adalah asas yang diterima secara universal dan shahih.

 

Termasuk dalam aspek pengawasan. MK seakan membatasi diri untuk tidak diawasi, baik oleh elemen masyarakat sipil maupun oleh lembaga negara yang dibentuk oleh UUD maupun UU, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY). Ini jelas menentang prinsip check and balances dalam politik kekuasaan kehakiman.

 

Soal keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli memang mereduksi kewenangan tiga lembaga negara; Presiden (pemerintah), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif) dalam pengajuan (bukan pengusulan) 3 (tiga) hakim konsitusi. KY melebihi kewenangannya karena ikut menentukan lolos tidaknya nama-nama calon hakim konstitusi yang diajukan ketiga lembaga negara tersebut. Sementara tafsir UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur kewenangan KY sampai sejauh itu.  Sekali lagi, ini tafsir UUD 1945, bukan tafsir undang-undang.

 

Menjaga Martabat

Namun demikian, kedudukan KY sebagai salah satu ‘pelaku’ kekuasaan kehakiman (judicial power) tidak bisa dinafikkan. KY tetap memiliki peran yang sangat signifikan dalam politik kekuasaan kehakiman. UUD 1945 menempatkan KY bersama MK dan MA dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Tafsir konstitusi tersebut memberikan peran yang sangat penting bagi KY. KY tidak bisa hanya dipandang sebagai state auxiliary organ sehingga berakibat ia dipandang inferior dan menjadi ‘sub-ordinat’ MA dan MK dalam politik kekuasaan kehakiman. 

Pertanyaan konstitusionalnya adalah, mengapa UUD 1945 menempatkan KY – yang notabene sebagai auxiliary organ – kedalam Bab Kekuasaan Kehakiman bersama MA dan MK? Tentu penempatan ini tidak asal. Konstitusi sadar, bahwa sebagai pelaksana fungsi kekuasaan kehakiman, MK dan MA memiliki kewenangan yang sangat besar. Nah kewenangan itu besar potensi untuk disalahgunakan jika tidak diawasi. Oleh karenanya konstitusi ‘memerintahkan’ KY untuk melakukan fungsi pengawasan dan menjaga keluhuran dan martabat hakim, tidak hanya hakim struktural dibawah MA, namun juga termasuk hakim konstitusi dan hakim agung sendiri.

 

Pengawasan tersebut berpijak pada teori ‘tidak ada kekuasaan tanpa pengawasan’. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan terhadap perilaku hakim, bukan kinerja hakim dalam memutus sebuah perkara. ‘Hakim’ itu tidak bisa ditafsirkan secara rigid dan sempit hanya pada hakim pada pengadilan dibawah MA, namun semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, harus menjadi objek pengawasan KY. Status “Agung’ dan “konstitusi’ itu hanya embel-embel dalam struktur kekuasaan kehakiman yang menempatkan MK dan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi. Status tersebut tidak lantas dipandang superior sehingga memunculkan arogansi kelembagaan dan individual yang tidak produktif. Karena pengawasan KY hanya terkait perilaku hakim, bukan pada teknis peradilan/putusan.

 

Seyogyanya, MK-MA lebih bijak menempatkan dirinya. Oleh konstitusi, keduanya ditempatkan dalam posisi yang sama, sebagai sesama pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power). Tafsir konstitusi dan UU Kekuasaan Kehakiman harus dipahami sebagai satu kesatuan. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, tanpa memandang hierarkis-struktural, dan tanpa embel-embel “hakim agung” atau “hakim konstitusi” yang lebih superior dibanding yang lain. Sehingga menimbulkan arogansi dan narsisme yang berlebihan. Status hakim semua sama. Tidak peduli yang bertitel “agung” atau “konstitusi.” Hakim adalah hakim. Bukan tuhan atau dewa, tapi manusia yang punya kekurangan.

 

Keberadaan KY seyogianya dipandang sebagai perwujudan prinsip check and balances antar cabang kekuasaan kehakiman. Sebagaimana keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) hubungannya dengan DPR dalam struktur kekuasaan legislatif. Hadirnya KY mewujudkan harmonisasi kekuasaan kehakiman, agar tidak ada kekuasaan yang kebablasan, dan tidak ada kekuasaan yang melampaui batas atau disalahgunakan (abuse of power), sehingga pengawasan mutlak diperlukan. 

 

Membatasi Independensi

Karena menjadi aneh ketika MK menggunakan dalil ‘intervensi’ terkait fungsi pengawasan KY ini, sementara MK sendiri tidak independen terkait mekanisme perekrutan hakim konstitusi yang berasal dari pemerintah dan DPR. Sehingga menjadi patut untuk dikritik kekuasaan yang bersumber dari pemerintah dan DPR itu. Apakah itu bukan sebuah intervensi?

 

Itu jelas intervensi. Karena teori independensi kekuasaan kehakiman itu berpijak pada 2 (dua) aspek; aspek kelembagaan dan teknis peradilan, termasuk putusan.  Kewenangan pemerintah dan DPR dalam pengajuan 3 (tiga) hakim konstitusi adalah bentuk dari intervensi itu meskipun kewenangan itu bersumber dari konstitusi. Jadi dengan sendirinya, konstitusi sudah membatasi status independensi hakim MK itu.

 

Juga, MK tidak cukup bijak saat memutus perkara ini dengan tetap melibatkan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida. Padahal diketahui, SK pengangkatan Patrialis dan Maria oleh Presiden digugat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di PTUN Jakarta dan dimenangkan. Seyogianya MK menunjukan sikap negarawan itu dengan me-non aktif-kan untuk sementara waktu keduanya sebagai hakim MK sampai putusan inkracht pada pengadilan tingkat banding atau kasasi di MA (jika ini dilakukan) menyatakan SK Presiden tersebut sah atau tidak.

 

Penulis sepakat, sebagai peradilan konstitusional (constitutional court), independensi MK perlu tetap dijaga, hal ini tidak saja sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), namun juga untuk menguatkan fungsi MK sebagai pengawal hak asasi manusia.

 

Namun demikian, hal tersebut tidak lantas membuat MK ‘alergi’ dan membatasi diri dari pengawasan, apakah pengawasan oleh masyarakat sipil maupun peran pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan yang ditunjuk oleh UUD maupun undang-undang. Jangan sampai kasus Akil Mochtar terulang lagi hanya karena MK alergi untuk diawasi. Dictum Lord Acton, ‘power tends to corrupt, and absolute corrup absolutly’, bahwa kekuasaan yang besar cenderung korup itu sudah terbukti dalam kasus Akil. Hendaknya MK memahami itu. 

 

Media Indonesia, 19 Februari 2014

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

SAAT NEGARA SERING DITEGUR (Menyoal Pelemik Dana Saksi Parpol)

Polemik dana saksi parpol untuk pemilu 2014 yang tak kunjung berhenti menandakan negara lalai dalam memahami dan membuat peraturan. Dasar teori kebijakan publik selalu berpijak pada asas kepentingan umum, bukan kepentingan sepihak. Selama ini negara sering dipandang keliru atau lalai ketika membuat peraturan. Peraturan yang dibuat cenderung menguntungkan satu pihak, dan pada akhirnya dipersoalkan sehingga membuat negara kehilangan wibawa dimata rakyat.   

Kita masih ingat, saat Yusril Ihza Mahendra memenangkan gugatan melawan negara dalam pengujian Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi pada 2010 lalu. Buntut dari putusan MK tersebut, Presiden SBY akhirnya mengeluarkan SK pemberhentian, alias memecat Hendarman sebagai Jaksa Agung.

Secara politis, putusan itu tidak saja dipandang sebagai kemenangan Yusril terhadap Hendarman dalam “perang” kasus korupsi Sisminbakum, namun juga kemenangan Yusril terhadap negara. Karena pada akhirnya, Gedung Bundar menyerah dengan mengeluarkan SP3 kasus korupsi Sisminbakum. Kemenangan ini terasa “istimewa” bagi Yusril. Karena selain berhasil mengalahkan negara dalam uji materi UU Kejaksaan, ia juga lolos dari kasus korupsi Sisminbakum.

Berlanjut, pada Juni 2012, MK mengabulkan gugatan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) yang juga didukung oleh Yusril Ihza Mahendra dalam uji materi UU Kementerian Negara. MK memutus bahwa keberadaan wakil menteri inkonstitusional. SBY pun mengubah dan memperbarui Keppres dan Perpres pengangkatan para wakil menteri yang sementara menjabat.

Pada November 2013, negara lagi-lagi keok. Kali ini pukulan itu sangat telak ke ulu hati, langsung ke jantung Istana. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Koalisi Masyarakat Sipil mempersoalkan SK pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indarti sebagai hakim konstitusi. Mereka menggugat keputusan itu di Pengadilan TUN dan dimenangkan. Pengadilan mengabulkan dan memutus bahwa SK Pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim MK tidak sah (cacat), karena tidak melalui proses sebagaimana diatur dalam UU MK. Negara kembali “dipermalukan”.

Presiden sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam penunjukan Patrialis sebagai hakim MK dituding ceroboh. Perppu No 1 Tahun 2013 terkait langkah penyelamatan MK ditengah kasus korupsi Akil Mochtar yang membelit MK saat itu dipandang sebagai ‘Perpu Penebus Dosa’, Presiden dianggap ‘cuci tangan’ atas kekeliruannya dalam menunjuk Patrialis. Tentu sangat mempengaruhi wibawa pemerintah (negara).

Masih banyak kasus lain yang menandakan lemahnya kemampuan negara dalam membuat sebuah aturan yang pada akhirnya menjadi bumerang di kemudian hari. Belum lagi kita bicara soal banyaknya undang-undang – hasil kompromi politik antara eksekutif dan legislatif – yang dinyatakan inkonsitusional di Mahkamah Konstitusi. Kasus terakhir terkait polemik pengangkatan Patrialis yang dibatalkan di PTUN adalah bukti negara lalai, keliru dan tidak cermat dalam merumuskan sebuah peraturan. 

Polemik Dana Saksi

Dalam polemik dana saksi parpol untuk pemilu 2014, negara kembali harus berhadap-hadapan (vis a vis) dengan rakyat. Sejak jauh hari suara-suara yang mengkritik kebijakan ini tidak pernah surut, bahkan makin lantang. Tapi ibarat ‘anjing mengonggong kafilah berlalu’, pemerintah terkesan ngotot tetap mendorong agar dana saksi parpol untuk pemilu 2014 ini disetujui.

Peta politik sudah memperlihatkan jika dari sembilan partai yang memiliki kursi di parlemen saat ini, tujuh partai menyatakan sikap setuju dan dua lainnya menolak. Namun perdebatannya terlalu sempit jika hanya berputar soal setuju atau tidak setuju, karena teori politiknya sudah begitu. Akan lebih bagus jika diskusinya diarahkan pada urgensi dana itu dan dasar/payung hukumnya. Mari kita cermati agar isunya tidak menjadi liar.

UU Pileg No 8 Tahun 2012 mengatur ketentuan tentang larangan parpol memperoleh sumbangan yang berasal dari negara. Pasal 139 ayat (10) huruf (c) UU Pileg menyebutkan bahwa “..peserta pemilu dilarang menerima sumbangan dana kampanye pemilu yang berasal dari… (c) pemerintah….”. tafsir Pasal ini sudah jelas jika parpol sebagai peserta pemilu itu dilarang memperoleh sumbangan dana kampanye yang berasa dari pemerintah (APBN)

Dalam UU APBN No 23 Tahun 2013 maupun UU APBN sebelumnya (UU APBN No 19 Tahun 2012), juga sama sekali tidak mengatur ketentuan soal APBN yang digunakan untuk pembiayaan politik (coba buka dan baja kedua UU itu). Makanya aneh kemudian jika pemerintah (melalui kementerian keuangan) mengatakan jika alokasi dana saksi parpol tersebut memiliki payung hukum. Ini tafsir yang kacau jika negara merekayasa sesuatu yang tidak jelas pertuntukan dan dasar hukumnya.  

Dalam pengamatan penulis, alasan yang sering dipakai oleh parpol yang menyetujui alokasi dana ini hanya pada UU Parpol No 2 Tahun 2012 pada Pasal 34. Akan tetapi Pasal 34 UU Parpol ini hanya mengatur bantuan keuangan negara terhadap parpol untuk fungsi kaderisasi parpol. Dan terkait kaderisasi parpol ini diperjelas pada Pasal 34 ayat (3b) hanya untuk kaderisasi parpol dalam konteks; pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Disitu tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang dana saksi sebagai bagian dari kaderisasi itu.  Sehingga menjadi jelas jika ini hanya alasan ngawur yang dibuat oleh Parpol sendiri untuk membajak anggaran negara untuk kepentingan pribadinya.

Membuka Potensi Korupsi

Dalam sejumlah diskusi, sikap saya tetap tegas menyatakan jika alokasi dana ini tidak memiliki urgensi kepentingan yang jelas (selain hanya untuk kepentingan parpol semata) dan tidak memiliki payung hukum yang kuat. Ini juga membuka potensi korupsi karena rawan disalahgunakan.

Dana ini rawan disalahgunakan jika melihat sikap parpol selama ini yang enggan membuka transparansi sumber pendanaan parpol yang berasal dari bantuan pihak ketiga. Jadi sebelum parpol ngotot menuntut bantuan negara untuk membiayai saksi mereka, parpol harus menjawab pertanyaan publik akan sumber sumbangan yang dikelola parpol. Apakah sumbangan itu diperoleh secara halal atau tidak. Parpol harus mampu menjawab itu dengan membuka data sumbangan dana dari pihak ketiga. Ini penting untuk menjaga kualitas demokrasi.

Kita tidak ingin partai yang memenangi pemilu dan partai yang lolos ke parlemen ternyata dibiayai cukong yang memiliki kepentingan politik tertentu. Jika terjadi, ini namanya membajak demokrasi, dan kita tidak menginginkan hal itu terjadi.

Jadi seyogianya pemerintah tidak menyetujui alokasi dana saksi parpol ini agar tidak masuk dalam pusaran korupsi politik yang lebih luas, dan yang lebih penting, agar tidak lagi ditegur oleh rakyatnya sendiri apabila nanti pemerintah tetap ngotot menyetujui dana ini, dan rakyat menggugatnya, dan walhasil menang.

 

Koran SINDO, Sabtu 15 Februari 2014

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

LEGAL ANOTASI Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perppu No 1/2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK Menjadi Undang-Undang, terhadap UUD 1945.

A.PENGANTAR
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, terhadap UUD 1945 ini bermula dari polemik yang menimpa MK saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua MK Akil Mochtar dalam dugaan suap sengketa perselisihan pemilukada di Kab Gunung Mas, Kalimantan Timur (Kaltim) yang kemudian meluas pada beberapa pilkada di sejumlah propinsi di Indonesia.
KPK kemudian menetapkan Akil sebagai tersangka. Tertangkap tangannya Akil saat itu cukup mengguncang dunia penegakan hukum yang kemudian berimbas secara kelembagaan terhadap MK. Kredebilitas MK yang selama ini dipandang relatif bersih, luntur seketika. Kesucian Jubah Merah ternoda, dinodai hakimnya sendiri. Suara-suara sumbang mulai bermunculan, antara pihak yang menghendaki MK dibubarkan, maupun barisan pengamat dan pakar hukum tata negara yang teguh mendorong evaluasi MK secepatnya untuk menyelamatkan wibawa MK yang sudah berada di titik nadir.
Polemik status Akil Mochtar yang menjadi tersangka KPK menjadi bola liar. Isu ini kemudian menggiring Presiden untuk segera mengambil sikap. Presiden berada ditengah-tengah arus aspirasi publik yang menuntut adanya keputusan yang bersifat konkrit dan segera. Antara reaksi kekecewaan publik, suara-suara yang menghendaki MK dibubarkan saja, hingga kalangan aktivis anti korupsi dan pengamat konstitusi yang tetap teguh mendorong penguatan MK kedepan, terlepas dari kasus yang menimpa Akil Mochtar.
Merespon situasi tersebut, pada Sabtu 5 Oktober 2013 lalu, Presiden mengundang beberapa ketua lembaga negara berkumpul dan mendiskusikan strategi “penyelamatan MK.” Sinyal adanya “situasi darurat” mendorong Presiden segera mengambil sikap.
Presiden mengambil keputusan akan mengajukan Perpu penyelamatan MK sebagai tanggungjawab konstitusionalnya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Rencana ini lagi-lagi menuai polemik. Tidak kurang berapa pengamat tata negara, termasuk sejumlah mantan hakim konstitusi dan hakim konstitusi saat ini memberikan respon berbeda. Ada yang menyetujui, dengan pertimbangan Perpu dibutuhkan untuk menyelamatkan MK saat ini. Namun ada pula yang menolak penerbitan Perpu, dengan alasan mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman yang seharusnya mandiri. Maupun alasan ekstrim lainnya, Perpu tersebut akan “mengebiri” MK. Mantan Ketua MK Jimly Ashiddiqqie dan sejumlah hakim MK lainnya berada dalam barisan penentang Perpu ini.
Akhirnya pada 17 Oktober 2013, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, yang kemudian menjadi UU No 4 Tahun 2014 tentang Pengesahan Perpu No 1 Tahun 2013.
Perppu ini kemudian menuai polemik. Meskipun secara konstitusional, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini kemudian disebutkan kembali dalam Pasal 1 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan, bahwa Perpu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Ada dua aspek terkait tafsir terhadap kedua pasal ini. Pertama, subjek yang berwenang mengeluarkan Perpu ini adalah presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintah negara (top executive). Kedua, Perpu dikeluarkan akibat situasi “genting” dan “memaksa.”
Untuk aspek pertama, konstitusi maupun undang-undang terkait secara tegas dan jelas memberikan hak kepada presiden untuk menerbitkan Perpu. Kata “hak” disini bisa ditafsirkan sebagai kewenangan. Artinya, Presiden berwenang menerbitkan Perpu dengan alasan sebagaimana mestinya Pada konteks ini, hal tersebut tidak masalah. Konstitusi memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden dalam menjalankan pemerintahan, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara. Termasuk dalam menerbitkan Perpu. Perppu adalah emergency power yang dimiliki oleh Presiden. Perppu merupakan hak darurat (nood verordeningsreht) Presiden untuk menerbitkan produk hukum dengan nama peraturan pemerintah, namun dengan substansi Undang-Undang.
Masalah muncul terkait istilah “kegentingan” dan situasi yang “memaksa” presiden untuk menerbitkan Perpu ini. Muncul perdebatan, apakah kasus Akil Mochtar yang berimbas pada kekosongan kursi hakim di Mahkamah Konstitusi bisa ditafsirkan sebagai situasi yang genting dan memaksa itu? Apakah tafsir situasi genting dan memaksa itu bisa disamakan jika negara dalam masa darurat perang, bencana kelaparan, atau diserang wabah penyakit?
Tidak berhenti disitu, pertanyaan lain mengemuka. Apakah Perpu tersebut menerobos batas independensi kekuasaan kehakiman (independent of judicial power) yang seharusnya mandiri, lepas dari intervensi kekuasaan lain? Sehingga Presiden bisa dituduh menyalahgunakan kekuasaannya? Mengapa tidak dikembalikan saja pada DPR untuk mengajukan penggantian hakim MK yang menjadi kewenangannya? Toh juga Perpu tersebut belum tentu disetujui DPR.
Memang debatable. Tidak saja soal materi Perpu yang diatur. Perpu ini juga membuka ruang konflik antara eksekutif dan yudikatif. Prinsip independensi kekuasaan kehakiman bisa menjerat presiden dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apalagi MK sudah “mengancam” akan me-judicial review Perpu itu. Walaupun suara dari pengamat tata negara, seperti Yusril Ihza Mahendra menganggap jika MK kurang etis jika me-judicial review Perpu, seandainya Perpu tersebut sudah ditetapkan oleh Presiden setelah disetujui DPR. Alasannya sederhana, MK tidak mungkin menguji dirinya sendiri.
Rencana isu yang akan dimuat dalam Perpu juga mengundang perdebatan. Materi tersebut menyentuh kewenangan MK yang sangat substansial. Seperti soal materi Perpu yang “memerintahkan” Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi MK. Jika ini dimuat, maka Perpu tersebut “melawan” putusan MK pada tahun 2006 dalam pengujian undang-undang (PUU) No 22 Tahun 2004 tentang KY. Dalam putusan yang gugatannya diajukan sejumlah hakim agung tersebut, hakim konstitusi dan hakim agung bukan merupakan objek pengawasan KY.

B.HAL-HAL YANG DIMUAT DALAM UU NO 4 TAHUN 2014
UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK menjadi undang-undang, memuat 3 (tiga) ketentuan utama, sebagai berikut:
1) Penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi. Perppu mengatur ketentuan tentang syarat/pembatasan 7 (tujuh) tahun tidak aktif sebagai anggota parpol bagi calon hakim konstitusi.
2) Memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Perppu mengatur keterlibatan KY dalam pembentukan Panel Ahli untuk menyeleksi calon hakim konstitusi yang diajukan oleh 3 (tiga) lembaga negara; pemerintah (presiden), DPR (legislatif) dan MA (yudikatif).
3) Perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Perppu mengatur dibentuknya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang sifatnya permanen.

C.HAL-HAL YANG DIMUAT DALAM PUTUSAN
a.Amar Putusan
Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis 13 Februari 2014, MK menyatakan:
1.Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang beserta lampirannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang beserta lampirannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456) yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493);

b.Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
1). Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 memberikan kewenangan atributif yang bersifat mutlak kepada kepada pemerintah, DPR, dan MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Kewenangan tersebut tidak boleh diberi syarat-syarat tertentu oleh undang-undang dengan melibatkan lembaga negara lain yang tidak diberi kewenangan oleh UUD, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY). Oleh karena itu UU No 4 Tahun 2014 yang mengatur pengajuan calon hakim konstitusi melalui panel ahli, perangkat yang dibentuk KY, nyata-nyata mereduksi kewenangan tiga lembaga tersebut.
2). Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang diatur dalam UU No 4 Tahun 2014 yang didalamnya mengatur keterlibatan KY melanggar putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU KY. MK secara tegas menyatakan bahwa hakim MK tidak terkait dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 24B UUD 1945. KY bukan lembaga pengawas MK, apalagi lembaga yang berwenang menilai benar atau tidaknya putusan MK sebagai lembaga pengadilan.
3). Tentang syarat calon hakim konstitusi yang tidak menjadi anggota parpol selama tujuh tahun, cenderung dibuat berdasarkan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu pasca penangkapan Akil Mochtar yang saat itu menjadi Ketua MK. MK memandang, stigmatisasi seperti itu menciderai hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.
4). MK juga memandang terbitnya Perpu No 1 Tahun 2013 tidak sesuai dengan ketentuan karena tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa yang diatur dalam UU. Menurut MK, Perpu harus mempunyai akibat prompt immediately, yaitu sontak segera untuk memecahkan permasalahan hukum. Perpu No 1 Tahun 2013 tidak memenuhi hal tersebut, terbukti belum adanya satu produk hukum yang dihasilkan Perppu.
5) Bahwa terhadap keterangan tertulis Komisi Yudisial yang mengemukakan bahwa Mahkamah seharusnya tidak melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi, Mahkamah merujuk beberapa pertimbangan yang termuat dalam putusan Mahkamah sebelumnya dan menjadikannya pula sebagai pertimbangan dalam perkara ini, sebagai berikut:
a.MK mendasarkan dirinya pada kasus Marbury vs. Madison di Mahkamah Agung Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, objek yang diuji oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat waktu itu adalah Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (Judiciary Act 1789), yaitu, Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Amerika Serikat sendiri. Terhadap Undang-Undang tersebut Mahkamah Agung Amerika Serikat melakukan pengujian sendiri untuk pertama kali dan memutus untuk pertama kali pula hal yang tidak dimohonkan oleh Pemohon juga diputuskan sehingga putusannya pun ultra petita. Dengan demikian, judicial review tidak dapat dipisahkan dari historisnya, yaitu, pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat terhadap Undang-Undang kekuasaan kehakiman itu sendiri dan memutus hal yang tidak dimohonkan atau ultra petita.
b.Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, bertanggal 30 Desember 2003, yang mengenyampingkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
c.Putusan Nomor 066/PUU-II/2004, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, bertanggal 12 April 2005, Mahkamah menegaskan kembali dengan mendasarkan pada Putusan Nomor 004/PUU-I/2003 tersebut, bahwa Mahkamah berwenang menguji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan pada akhirnya mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
d.Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tentang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bertanggal 18 Oktober 2011.
e.Jika Mahkamah dilarang menguji Undang-Undang yang mengatur tentang Mahkamah maka Mahkamah akan menjadi sasaran empuk untuk dilumpuhkan melalui pembentukan Undang-Undang untuk kepentingan kekuasaan, yaitu manakala posisi Presiden mendapat dukungan yang kuat dari DPR atau sebaliknya.

D.SIKAP TERHADAP PUTUSAN MK
Sejak awal, Penulis memandang jika penerbitan Perppu ini sudah melampaui batas kewenangan pemerintah, karena pemerintah merombak isi konsitusi terkait pembentukan Panel Ahli yang akan melakukan seleksi calon hakim konstitusi yang diajukan oleh 3 (tiga) lembaga negara; presiden (pemerintah), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif) yang berbeda dengan bunyi UUD 1945.
Menempatkan dirinya sebagai ‘penafsir tunggal konstitusi’, dalam putusannya MK mengatakan bahwa semua pokok permohonan merupakan ‘jantung’ atau substansi inti dari UU No 4 Tahun 2014. MK memutus mengabulkan semua permohonan. Itu artinya, UU No 4 Tahun 2014 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional).
Terhadap putusan MK ini, penulis sepenuhnya sepakat dalam hal sikap MK yang telah berhasil ‘membebaskan’ MK dari intervensi kekuasaan lain sebagai akibat terbitnya Perppu No 4 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4 Tahun 2014. Namun demikian, ada catatan koreksi terhadap putusan ini, sebagai berikut:
1.Putusan MK ini ‘rumit’ dipahami alur logika dan interpretasi hukumnya. Meskipun secara positif MK berhasil ‘membebaskan’ dirinya dari intervensi kekuasaan lain (pemerintah/eksekutif) sebagai akibat terbitnya Perppu No 1 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4 Tahun 2014. Sifat ‘genting dan memaksa’ itu juga tidak cukup kuat sebagai alasan keluarnya Perppu karena UU MK mengatur masih bisa bersidang dengan 7 (tujuh) orang hakim (minimal), (Penulis sepakat dengan penjelasan ahli Prof.Dr. Saldi Isra sebagaimana terlampir dalam putusan).
Rumit, karena asas universal, “nemo judex in re sua” yang berlaku dalam kekuasaan kehakiman, bahwa hakim tidak boleh menilai dirinya sendiri secara terang dilanggar oleh MK ketika memutus Perppu ini (termasuk sejumlah putusan lain yang juga menyentuh langsung MK). Ini asas yang diterima secara universal dan shahih. Akan tetapi Penulis memandang, MK ‘tidak memiliki pilihan lain’ selain memutus UU No 4 Tahun 2014 ini inkonstitusional untuk melindungi dirinya dari intervensi kekuasaan lain.
2.Terkait legal standing, lebih shahih jika MK sendiri yang menjadi ‘subjectum litis’ dalam perkara ini, karena MK yang menerima dampak langsung dari berlakunya UU No 4 Tahun 2014, namun itu tidak dimungkinkan mengingat ketentuan perundang-undangan tidak mengatur itu. Para pemohon yang ada dalam putusan ini tidak cukup kuat dari sisi legal standing, karena kerugian konstitusional yang dialami tidak konkrit sebagai akibat dari terbitnya UU No 4 Tahun 2014 in litis tersebut. Legal standing adalah mereka yang secara nyata telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya sebuah undang-undang. Sementara dalam putusan, kedudukan legal standing pemohon lemah (penulis sepakat dengan pendapat ahli Prof.Dr.Phillipus M. Hadjon sebagaimana termuat dalam putusan). Dalil tunggal yang dijadikan legal standing oleh pemohon adalah status pemohon selaku warga negara yang rutin membayar pajak. Dalam teori pengujian undang-undang yang berlaku di MK, jika kedudukan hukum (legal standing) itu tidak cukup kuat, maka permohonan (PUU) tersebut harus ditolak.
3.Sehingga MK menyelamatkan kelemahan legal standing pemohon ini dengan dalil “objectum litis”. “Bahwa salah satu ‘objectum litis’ dari proses peradilan di Mahkamah adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan.”
Hal tersebut dipakai oleh MK untuk ‘menafsirkan’ dirinya sebagai ‘bagian yang tidak terpisahkan’ dari pokok permohonan yang diajukan pemohon dalam setiap permohonan pengujian undang-undang yang dimohonkan. Dalil itu ‘mengunci’ setiap pendapat yang mengatakan MK tidak berwenang menguji dirinya.
4.Soal keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli memang mereduksi kewenangan tiga lembaga negara; Presiden (pemerintah), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif) dalam pengajuan (bukan pengusulan) 3 (tiga) hakim konsitusi. KY melebihi kewenangannya karena ikut menentukan lolos tidaknya nama-nama calon hakim konstitusi yang diajukan ketiga lembaga negara tersebut. Sementara tafsir UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur kewenangan KY sampai sejauh itu.
Namun demikian, kedudukan KY sebagai salah satu ‘pelaku’ kekuasaan kehakiman (judicial power) tidak bisa dinafikkan. KY tetap memiliki peran yang sangat signifikan dalam politik kekuasaan kehakiman. UUD 1945 menempatkan KY bersama MK dan MA dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Tafsir konstitusi tersebut memberikan peran yang sangat penting bagi KY. KY tidak bisa dipandang sebagai state auxiliary organ sehingga berakibat ia dipandang inferior dan menjadi ‘sub-ordinat’ MA dan MK dalam politik kekuasaan kehakiman.
UUD 1945 ‘memerintahkan’ KY untuk menjalankan fungsi pengawasan dan menjaga keluhuran dan martabat hakim. Pengawasan tersebut berpijak pada teori ‘tidak ada kekuasaan tanpa pengawasan’. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan terhadap perilaku hakim, bukan kinerja hakim dalam memutus sebuah perkara. Juga, hakim yang menjadi objek pengawasan KY ini tidak hanya hakim pada jenjang pengadilan dibawah MA, namun juga MA dan MK seharusnya menjadi objek pengawasan KY. ‘Hakim’ itu tidak bisa ditafsirkan secara rigid dan sempit hanya pada hakim pada pengadilan dibawah MA, namun semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, harus menjadi objek pengawasan KY. Status “Agung’ dan “konstitusi’ itu hanya embel-embel dalam struktur kekuasaan kehakiman yang menempatkan MK dan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi. Status tersebut tidak lantas dipandang superior sehingga memunculkan arogansi kelembagaan dan individual yang tidak produktif. Namun perlu ditekankan juga, pengawasan ini hanya terkait perilaku hakim, bukan pada teknis peradilan/putusan.
Seyogyanya, MK-MA-KY ditempatkan dalam posisi yang sama, sebagai sesama pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power). Tafsir UU Kekuasaan kehakiman harus dipahami sebagai satu kesatuan. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tanpa memandang hierarkis-struktural, dan tanpa embel-embel “hakim agung” atau “hakim konstitusi” yang lebih superior dibanding yang lain. Sehingga menimbulkan arogansi dan narsisme yang berlebihan. Status hakim semua sama. Tidak peduli yang bertitel “agung” atau “konstitusi.” Hakim adalah hakim. Bukan Tuhan atau Dewa, tapi manusia yang punya kekurangan.
Keberadaan KY seyogianya dipandang sebagai perwujudan prinsip check and balances antar cabang kekuasaan kehakiman. Sebagaimana keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI hubungannya dengan DPR RI dalam struktur kekuasaan legislatif. Hadirnya KY mewujudkan harmonisasi kekuasaan kehakiman, agar tidak ada kekuasaan yang kebablasan, dan tidak ada kekuasaan yang melampaui batas atau disalahgunakan (abuse of power), sehingga pengawasan mutlak diperlukan.
5.Soal independensi. Meskipun MK dapat melepaskan dirinya dari kungkungan intervensi kekuasaan lain, namun patut juga dikritik kekuasaan yang bersumber dari pemerintah dan DPR. Apakah itu bukan sebuah intervensi? Konteks independensi kekuasaan kehakiman pada 2 (dua) aspek; aspek kelembagaan dan teknis peradilan, termasuk putusan. Kewenangan pemerintah dan DPR dalam pengajuan 3 (tiga) hakim konstitusi adalah bentuk dari intervensi itu meskipun berasal dari konstitusi. Jadi dengan sendirinya, konstitusi sudah membatasi status independensi hakim MK itu.
6.MK tidak cukup bijak saat memutus perkara ini dengan tetap melibatkan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida. Padahal diketahui, SK pengangkatan Patrialis dan Maria oleh Presiden digugat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di PTUN Jakarta dan dimenangkan. Seyogianya MK menunjukan sikap negarawan itu dengan me-non aktif-kan untuk sementara waktu keduanya sebagai hakim MK sampai putusan inkracht pada pengadilan tingkat banding atau kasasi di MA (jika ini dilakukan) menyatakan SK Presiden tersebut sah atau tidak.

E.PENUTUP
1.Sebagai peradilan konstitusional (constitutional court), independensi MK perlu tetap dijaga, hal ini tidak saja sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), namun juga untuk menguatkan fungsi MK sebagai pengawal hak asasi manusia.
2.Namun demikian, hal tersebut membuat tidak lantas membuat MK membatasi diri dari pengawasan, apakah pengawasan oleh masyarakat sipil maupun peran pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan yang ditunjuk oleh UUD maupun undang-undang.
3.Penting untuk mempertahankan syarat ‘negarawan’ dan ‘paham konstitusi’ sebagai ukuran menjadi calon hakim konstitusi. Karena seorang hakim konstitusi haruslah seseorang yang memiliki kemampuan hukum memadai dan menguasai isu-isu ketatanegaraan, serta tidak memiliki kepentingan politik apapun selain semata-mata mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Makassar, 15 Februari 2014
Eksaminator

Wiwin Suwandi

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

HUKUM DI ARAS POLITIK

Sudah menjadi sesuatu yang “ditakdirkan”, jika hukum dan politik selalu berjalan beriringan. Sehingga tidak heran kemudian, jika ada isu hukum yang mencuat, maka otomatis diikuti dengan isu politik. Hukum dan politik ibarat “pinang dibelah dua”, “saudara kandung” atau “saudara kembar.” Pun juga diikuti dengan komentar sejumlah pihak berkepentingan.

 

Hal ini bisa dilihat dari sejumlah kasus hukum yang mencuat. Contoh menarik adalah kasus korupsi Century dan Hambalang. Dua kasus ini menjadi perhatian jagad publik tanah air karena dua faktor; keterlibatan sejumlah elit dan nilai kerugian negara yang ditimbulkan, hingga mencapai kisaran triliunan rupiah.

 

Awalnya, Century dan Hambalang adalah kasus hukum, posisinya sudah jelas dalam tafsir tindak pidana korupsi. Meskipun proses hukum terhadap kasus ini masih berjalan, namun beberapa fakta hukum terkuak satu persatu. Ada pelaku dan ada nilai kerugian negara yang ditimbulkan.

 

KPK sebagai lembaga penegak hukum sejak jauh hari sudah mengusut sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini. Sejumlah nama sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kasus Century, ada Budi Mulya dan Siti Fadjriyah. Pun dalam kasus Hambalang, Alfian Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Nazaruddin dan sejumlah nama lain sudah ditetapkan sebagai tersangka. Korupsi merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime). Sehingga tidak heran, jika yang terlibat adalah orang-orang penting, berduit dan berdasi.

 

Bias Isu

Karena melibatkan sejumlah elit, kasus ini kemudian merambat ke politik. Sejumlah komentar mengemuka; mulai dukungan dan tekanan kepada KPK, hingga asumsi liar yang dibangun dan didesain sedemikian rupa oleh kepentingan tertentu. Semua isu yang mencuat berdiri diatas kepentingan masing-masing.

 

Dalam kasus Century, desakan dan tekanan kepada KPK sangat kuat terkait tudingan keterlibatan Wapres Boediono yang saat itu menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Sri Mulyani yang saat itu sebagai Menteri Keuangan. Keduanya dianggap lalai dan bertanggungjawab terhadap kebijakan bailout yang kemudian merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Ditengah upaya KPK yang sedang bekerja mengusut kasus ini, politik kemudian masuk dan menggiring isu pada wilayah kekuasaan.

 

Menjelang Pemilu, isu ini menjadi semakin “seksi”. Tidak keliru kemudian jika serangan terhadap Boediono ditujukan kepada SBY selaku kepala negara, yang saat itu masih menjabat pada periode pertama (KIB I). Selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY pun dianggap lalai mengawasi kebijakan yang kemudian merugikan keuangan negara. Roda isu terus bergulir dalam arus politik yang sangat deras dan “panas.’

 

Beralih ke Hambalang, KPK sudah menetapkan sejumlah nama sebagai tersangka. Beberapa diantaranya pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan, seperti Anas Urbaningrum (DPR), Alfian Malarangeng (Menpora) dan Nazaruddin (Banggar DPR). KPK sudah mengantongi sejumlah bukti, termasuk unsur kerugian negara melalui hasil audit BPK untuk menyeret sejumlah nama tersebut ke kursi pesakitan.

 

Politik pun ikut-ikutan masuk. Apes bagi Demokrat, dua kasus ini; Century dan Hambalang menjadi senjata paling ampuh yang digunakan lawan politik untuk menyerang Demokrat. Posisi SBY selaku kepala negara dan ketua Dewan Pembina Partai Demokrat menjadi sulit untuk membela diri dan membersihkan nama partai yang sudah tercemar.

 

Karena isu politik cenderung lebih menguasai panggung, maka hukum pun “dipaksa” masuk ke wilayah politik. Ditengah upaya KPK yang sedang bekerja, sejumlah pihak mendesain isu Century dan Hambalang kewilayah politik. Tidak kurang, sejumlah orang hukum (pengamat dan praktisi) ikut-ikutan masuk dalam isu ini.

 

Salah satu contoh adalah Hambalang. Penahanan mantan ketua umum partai Demokrat, Anas Urbaningrum oleh KPK pada Jum’at (10/1/2014) diprotes oleh kuasa hukum Anas. Mereka mempersoalkan frasa “sejumlah proyek lain” yang tertera dalam surat panggilan. Bahwa frasa tersebut masih abstrak sehingga mendorong Anas tidak menghadiri panggilan pertama dan kedua. Mereka mendesak KPK menjelaskan frasa sejumlah proyek lain tersebut, dan mendesain isu seolah-olah Anas dizolimi, kasus anas dipolitisasi, dan bahwa Anas adalah korban “pengadilan politik”.

 

Benarkah seperti itu? Baik, kita akan mendiskusikan ini, agar isu Hambalang tidak menjadi liar. Pertama, KPK adalah lembaga penegak hukum dengan fungsi pemberantasan korupsi. KPK menjerat Anas dengan pasal gratifikasi dalam UU TPK terkait kepemilikan mobil Toyota Harier yang diduga diperoleh secara tidak wajar. Sangkaan ini berasal dari pengembangan dan pendalaman kasus yang dilakukan KPK beserta sejumlah bukti pendukungnya.

 

Apakah kasus Anas merupakan rekayasa politik atau hanya untuk menaikan popularitas seorang Abraham Samad? Itu kekeliruan besar. KPK tidak main-main dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, karena KPK tidak berwenang menghentikan proses penyidikan yang sementara berlangsung. UU KPK melarang KPK menghentikan proses penyidikan dan penuntutan sebuah perkara TPK. Penetapan tersangka, bukan hanya berdampak hukum pada subjek hukum yang bersangkutan, namun juga menyangkut nama baik dan integritas lembaga (KPK). Patut dicatat, sejak KPK terbentuk, tidak ada seorang tersangka TPK yang divonis bebas di pengadilan Tipikor.    

 

Kedua, terkait frasa “proyek-proyek lain” yang diprotes oleh kubu Anas. Pasal 51 ayat 1 Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan “Untuk rnempersiapkan pembelaan: a). tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.”

 

Apa maksud pasal tersebut?  Tafsir Pasal tersebut sudah jelas, bahwa proyek dimaksud akan dijelaskan setelah tersangka menghadiri panggilan pemeriksaan. Disitu penyidik akan menjelaskan sangkaan pasal dan materi kasus yang menjeratnya. KUHAP mengatur bahwa seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka wajib menghadiri panggilan pemeriksaan. Sehingga benar ketika KPK mengancam akan menerapkan prosedur pemanggilan paksa jika sampai tiga kali dipanggil tidak hadir, itu diatur dalam KUHAP.

 

Patut juga dicatat bahwa, pemeriksaan itu bukan cuma prosedur hukum acara, namun juga untuk ,menghormati hak asasi tersangka. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) masih berlaku. Anas masih memiliki ruang untuk membela diri dan membuktikan dirinya tidak bersalah. Yang salah jika dalam pemeriksaan, penyidik KPK langsung melakukan penahanan dengan tidak menjelaskan pasal sangkaan serta proyek-proyek terkait

 

Ketiga, apakah fakta hukum bisa dikaburkan dengan opini? Jelas tidak. Korupsi adalah wilayah hukum, bukan politik. Sehingga sangat keliru jika sejumlah pihak mencoba menggiring isu hukum ke wilayah politik. Ironisnya, yang terlibat dalam penggiringan isu ini adalah juga dari kalangan hukum sendiri.

 

Hukum akan sulit ditegakkan, jika kalangan hukum pun membuat “tafsir menyesatkan” terhadap ketentuan yang sudah jelas. Jadi berhentilah membodohi masyarakat dengan opini menyesatkan, kita tunggu proses hukum yang masih berjalan.   

 

 Dimuat di Koran FAJAR, Makassar, Senin (13/1/2014)

 

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Barisan Kaum Demagog

Setelah reformasi politik pada tahun 1998 yang berhasil menumbangkan rezim otoriter Orde Baru (Orba), banyak orang percaya, bahwa demokrasi di Indonesia akan gilang gemilang.

Prediksi tersebut tidak sepenuhnya salah, reformasi konstitusi melalui empat tahap amandemen (1999-2002) berhasil mengembalikan trah ‘negara hukum’ Indonesia yang ‘dikurung’ dalam sangkar Orba selama 32 tahun berkuasa. Melalui mekanisme pemilihan langsung, rakyat kembali mendapatkan kedaulatannya yang selama 32 tahun ‘dipasung” politik otoriter Orba. Pers mendapatkan kemerdekaannya melalui pengesahan UU Pers No 40 Tahun 1999. Pers terbuka untuk mengkritik dan dikritik, tanpa harus takut dengan ancaman pembredelan. Parpol dan Ormas tumbuh menjamur. Kran demokrasi yang terbuka lebar ibarat mata air (oase) ditengah padang pasir yang kering dan gersang.

Namun demikian, ada yang luput dari perhatian. Demokrasi juga ternyata mengukuhkan eksistensi kaum demagog.

Eksistensi Kaum Demagog
Demagog adalah sebuah istilah – yang telah ada sejak zaman Yunani Kuno – untuk menyebut sekumpulan orang-orang yang berpikir dan bertindak culas dan licik, lebih mementingkan diri sendiri, menebar pesona dengan pencitraan (kamuflase), berkoar atas nama kebenaran namun seringkali memanipulasi kebenaran itu dengan opini dan wacana.

Mahfud M.D., pernah menulis di Majalah GATRA tahun 1997 silam tentang “Dominasi Kaum Demagog”. Demagog adalah agitator-penipu yang seakan-akan memperjuangkan rakyat padahal semua itu dilakukan demi kekuasaan untuk dirinya. Demagog biasa menipu rakyat dengan janji-janji manis agar dipilih tapi kalau sudah terpilih tak peduli lagi pada rakyat; bahkan dengan kedudukan politiknya sering mengatas namakan rakyat untuk mengeruk keuntungan.
Ada yang beraliansi sambil berteriak mau menyelamatkan bangsa dari disintegrasi tetapi tingkah lakunya sangat destruktif bagi keselamatan bangsa dan negara. Ada yang berteriak mau memberantas korupsi padahal dirinya disinyalir sebagai koruptor yang dengan licik dan licin membobol keuangan negara.
Banyak juga tokoh partai yang berpidato berapi-api, jika partainya menang dalam pemilu dan menguasai kursi parlemen maka negara akan makmur, rakyat sejahtera. Padahal banyak yang tahu pemidato itu selalu melakukan perselingkuhan politik dan mencampakkan idealisme partainya untuk kepentingan pribadinya. Seperti itulah tingkah laku demagog yang oleh Aristoteles disebut sebagai ancaman berbahaya bagi demokrasi (Mahfud: 1997).
Bahayanya, kaum demagog kini menguasai panggung politik nasional akhir-akhir ini. Mereka tampil dominan dengan menggusur tokoh-tokoh reformis yang memiliki rekam jejak nyata dalam pembangunan bangsa ini. Dalam konteks filsafat bahasa, Mereka memoles citra diatas sihir kata-kata yang meninabobokan rakyat. Simbol (semiotik) bahasa yang dipakai sangat melankolis, tidak jarang membuat orang terkagum-kagum, bahkan menangis. Padahal dibelakang panggung, lakunya tak mencerminkan kata-katanya. Mereka ini bisa berasal dari beragam profesi; politisi, pejabat, pengusaha, penegak hukum, akademisi, bahkan ulama (agamawan).
Politisi demagog, berkampanye seolah-olah mengutamakan kepentingan rakyat. Menyebar baliho dan poster dimana-mana. “Demi rakyat”, atau “atas nama rakyat” adalah simbol bahasa yang kerap dipakai untuk menarik simpati, namun sejatinya, semua itu kamuflase semata. Saat pemilu rakyat didekati, pasca pemilu rakyat dilupakan. Itulah laku politisi kita saat ini.
Pejabat demagog, menjalankan pemerintahan secara korup/KKN. Birokrasi dijalankan bukan untuk melayani kepentingan publik, namun untuk melayani kepentingan individu dan kelompoknya. Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang mengarah pada praktik korupsi, terjadi secara sistematif , terstruktur dan masif (STM).
Pengusaha demagog, menjalankan usahanya dengan cara-cara yang licik dan culas. Prinsip “segala cara dilakukan asal tujuan tercapai” menjadi laku kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang. Menyogok pejabat untuk memuluskan proyek, memonopoli usaha di satu tempat, atau melakukan manuver licik untuk menjatuhkan kelompok usaha lain menjadi hal lazim, asal usaha berkembang, tak peduli orang lain dikorbankan.
Penegak hukum demagog; hakim, jaksa, polisi, pengacara, menjalankan hukum dengan cara-cara yang bertentangan dengan hukum. Menerima suap, memutarbalikan fakta, dan membangun opini yang menyesatkan dilakukan berulang-ulang. Sumpah jabatan dan kode etik dilanggar demi ambisi materi.
Akademisi demagog, menggunakan keahlian dan kepakarannya dengan membangun teori/pendapat yang menyesatkan. Ahli hukum, dan ahli ekonomi misalnya, kepakarannya digunakan untuk membantu meloloskan seorang koruptor dari jerat hukum. Ahli politik, membangun teori yang merusak tatanan sosial-politik, berafiliasi dengan barisan demagog yang mengusung tokoh tertentu demi ambisi politik. Kiamat pengetahuan, jika akademisi kampus sudah ‘melacurkan” ilmunya.
Alim ulama demagog, berkhotbah menyebarkan kebencian dan kesesatan “atas nama Tuhan” melalui manipulasi ayat dalam kitab suci dan hadits shahih. Menjual Tuhan dengan menyerang kelompok kepercayaan dan agama lain. Merasa diri paling benar, yang lain salah, bahkan kafir.
Sangat mencengangkan, demokrasi yang diagung-agungkan, nyatanya hanya mengokohkan eksistensi kaum demagog. Kaum demagog, menyimpan benalu mematikan yang merongrong dan menggerogoti prinsip moral umum dan konsep berbangsa dan bernegara. Dasar negara kaum demagog bukan Pancasila dan UUD 1945, namun kelicikan dan keculasan.
Sejak jauh hari, guru dan murid; Plato dan Aristoteles, memang tidak mendukung demokrasi. Plato lebih mengunggulkan sistem politik aristrokrasi yang dipimpin oleh seorang raja-filosof yang biasanya mempunyai berbagai kelebihan dan visioner, Aristoteles mengatakan, demokrasi berbahaya karena pada kenyataan (pengalaman di Athena) banyak demagog yang bergentayangan dalam sistem demokrasi. Demagog-demagog itu kerapkali membawa essence demokrasi ke sistem diktatorial, bahkan tirani, meskipun pada permukaan atau formal-proseduralnya tetap.”seolah-olah demokrasi.

Dimuat di: http://wartatimur.com/barisan-kaum-demagog.html

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Daulat Rakyat di RUU Pemilukada

RUU Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pemilukada) yang sementara dibahas di DPR memuat beberapa isu yang menarik didiskusikan secara akademis. Satu diantaranya tentang format pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Jika awalnya gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung oleh rakyat, maka draft RUU Pemilukada mewacanakan pemilihan gubernur, bupati dan walikota dikembalikan ke Dewan perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Isu ini kemudian mengundang perdebatan. Menggiring sejumlah pihak yang berkepentingan dalam arus pro dan kontra. Namun dari sekian banyak komentar yang mengemuka, pertanyaan kunci terkait wacana ini tidak bisa dilepaskan dari satu pertanyaan besar, dimana posisi daulat rakyat? Pertanyaan ini harus dijawab, agar demokrasi pemilihan tidak hanya menjadi ajang transaksi elit.

 

Problem Otoda

Tak bisa dipungkiri, banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus hukum, utamanya korupsi, menjadi alasan kuat wacana pemilihan gubernur, bupati dan walikota dikembalikan ke DPRD. Ramainya pemberitaan penangkapan KPK terhadap sejumlah kepala daerah, mulai level gubernur hingga bupati dan walikota menjadi ‘legitimasi opini’ untuk mendesakkan wacana ini. Apalagi pasca penahanan Gubernur Banten, Atut Chosiyah oleh KPK belum lama ini.

Otoda kemudian dituding sebagai ‘kambing hitam’. Tudingan ini cukup beralasan mengingat pemilukada berada dibawah rezim UU No 32 Tahun 2004 (UU Pemda/UU Otoda), berbeda dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden yang merupakan rezim pemilu. Oleh karena berada dibawah rezim Otoda, wacana pemilihan gubernur, bupati dan walikota oleh DPRD dalam draft RUU Pemilukada, tidak bisa dilepaskan dari problem pelaksanaan Otoda selama ini.

Dari banyak masalah terkait pelaksanaan Otoda, isu korupsi kepala daerah menjadi topik utama. Jika dikaitkan dengan wacana pemilihan gubernur, bupati dan walikota oleh DPRD dalam draft RUU Pemilukada, isu ini cukup kuat. Bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung yang selama ini memakan biaya mahal, rawan memicu penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kepala daerah.

Lihat saja, hingga penghujung tahun 2013, sudah ratusan kepala daerah tersandung korupsi. Ironisnya, kepala daerah ini lahir dari proses pemilihan langsung. Mahalnya ongkos politik yang harus dikeluarkan selama mengikuti proses pemilukada memicu kepala daerah terpilih menyalahgunakan kekuasaannya. Ketika terpilih, sang kepala daerah berpikir untuk mencari pengganti ongkos politik yang keluar selama ini.

Penyalahgunaan APBD dan izin investasi; pertambangan, perkebunan dan izin investasi lainnya menjadi lahan empuk korupsi kepala daerah. Korupsi dana Bansos oleh Gubernur Banten Atut Chosiyah dan penyalahgunaan izin investasi oleh mantan Bupati Buol Amran Batalipu menjadi tesis otentik dalam isu ini.

Korupsi kepala daerah merupakan imbas dari desentralisasi kekuasaan yang tidak terkontrol dengan baik, baik oleh undang-undang, maupun oleh perangkat atau institusi sosial-politik lainnya di daerah, seperti DPRD, LMS/NGO Lokal dan masyarakat umum. Besarnya kewenangan yang dimiliki seorang kepala daerah, tidak dibarengi dengan pengawasan dan standar pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah yang efektif. Akibatnya, Otoda seakan ‘menjebak’ kepala daerah dalam jaring korupsi.

Berkaca pada rezim Orba dulu. Saat Orba berkuasa dengan watak sentralistiknya, kekuasaan terpusat pada satu tangan; Soeharto dan kroninya. Akibatnya, sumber-sumber politik dan ekonomi negara hanya berputar pada segelintir orang. Daerah tidak diberikan akses luas untuk mengelola kemandiriannya.

Saat Orba runtuh, pemerintahan masa transisi menerbitkan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (lazim disebut UU Otoda) untuk mengobati ‘luka’ daerah dan untuk menyempurnakan beberapa kesalahan dalam UU Pemda sebelumnya (UU No 5 Tahun 1974). UU itu membuka kran desentralisasi kekuasaan sebesar-besarnya. Desentralisasi melalui asas ‘otonomi’ menjadi kata kunci yang diberikan pusat ke daerah untuk mengelola kemandirian daerahnya.

Namun reformasi politik dibidang UU Pemda itu menjadi tidak terkontrol dan kebablasan. Tujuan awalnya sangat baik, yaitu agar daerah mampu bersaing dan mengelola daerahnya dengan dasar kemandirian. Akan tetapi, kekuasaan yang terlampau besar yang kemudian diperparah dengan mekanisme kontrol yang kurang menyebabkan kekuasaan tersebut disalahgunakan.

Fenomena tersebut menguatkan dalil Mansur Olson tentang “Political Bandit.” Olson – seorang yang menentang kediktatoran – mengemukakan teori tentang “roving bandit” dan “stationary bandit.” Ia menggambarkan bahwa, dulu ada seorang bandit, bandit besar (stationary bandit). Bandit besar ini dengan semua kemampuannya, menguasai hampir seluruh kekayaan diwilayah tersebut. Pada masa sang bandit besar tersebut berakhir, muncul bandit-bandit kecil (roving bandit) yang menguasai beberapa wilayah sesuai dengan otoritasnya masing-masing. Olson benar, Otoda yang kebablasan ternyata melahirkan ‘bandit-bandit kecil’ yang hanya bisa memperkaya diri.

 

Pertahankan Daulat Rakyat

Beragam masalah tersebut cukup kuat menjadi dasar wacana pemilihan gubernur, bupati dan walikota oleh DPRD. Namun bukan berarti semua alasan tersebut lantas diterima mentah-mentah. Perlu dikaji dan diperdebatkan secara akademik agar daulat rakyat tidak tereliminasi kepentingan elit semata.

Memang benar, bahwa pemilihan melalui DPRD juga dianggap ‘demokratis’, karena wakil rakyat yang duduk disitu juga dipilih oleh rakyat secara langsung. Sistem demokrasi tidak hanya mengenal demokrasi langsung, tetapi juga demokrasi perwakilan. Namun jika menelisik teori pure demokrasi, bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (from, by and for people) maka jelas demokrasi langsung adalah sistem terbaik. Karena melibatkan masyarakat secara keseluruhan dalam menggunakan hak pilih, termasuk hak untuk dipilih. Dalam konteks ini, doktrin bahwa “demokrasi adalah aspirasi mayoritas” adalah benar adanya.

Selain itu, visi untuk membangun masyarakat yang sadar dan tertib politik juga akan terhambat dengan berlakunya klausul tersebut. Jika gubernur, bupati dan walikota dipilih melalui DPRD, maka hubungan antara gubernur, bupati dan walikota sebagai ‘abdi’ dan rakyat sebagai pihak yang dilayani akan renggang. Rakyat tidak terlalu merasa terikat untuk taat dan patuh kepada apa yang diperintahkan oleh gubernur, bupati dan walikota. Secara berseloroh, rakyat akan mengatakan “anda kan wakil partai, bukan wakil kami!”

Ketentuan ini juga bertentangan dengan makna kedaulatan rakyat dan penyaluran hak sipil-politik warga negara. Pasal 2 UUD 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”. Apalagi pada 2005 lalu kita telah meratifikasi International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR) melalui UU No 12 Tahun 2005. Salah satu ketentuan dalam ICCPR adalah terkait hak untuk memilih.

Saya khawatir, klausul ini rawan di gugat ke Mahkamah Konstitusi karena dianggap telah mengeliminasi kedaulatan rakyat. Bagaimana negara mempertanggungjawabkan semuanya; biaya dan wibawa, jika seandainya, UU ini akhirnya ‘rontok’ di MK. Jadi pemerintah harus cermat memikirkan hal ini, agar sekali lagi, posisi daulat rakyat tidak tereliminasi oleh kepentingan elit semata.

 

Dimuat di Koran Media Indonesia, 28 Desember 2013

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar

Menyoal Polemik Perppu MK

Hingar bingar politik nasional tampaknya akan selalu panas dalam beberapa waktu kedepan. Tidak saja soal persiapan menuju pemilu 2014 yang tinggal tersisa beberapa bulan lagi, namun kiprah dan sepak terjang KPK akhir-akhir ini turut mengundang decak kagum. Apalagi pasca penangkapan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) terkait suap belum lama ini. KPK panen pujian, sebaliknya, MK panen cibiran dan hujatan. Ibarat pepatah “panas setahun dihapus hujan sehari,” begitulah kondisi MK saat ini. Wibawa dan kredebilitas yang dibangun sekian lama, akhirnya hancur lebur akibat ketamakan hakimnya sendiri.

Polemik status Akil Mochtar yang menjadi tersangka KPK menjadi bola liar. Isu ini kemudian menggiring Presiden untuk segera mengambil sikap. Presiden berada ditengah-tengah arus aspirasi publik yang menuntut adanya keputusan yang bersifat konkrit dan segera. Antara reaksi kekecewaan publik, suara-suara yang menghendaki MK dibubarkan saja, hingga kalangan aktivis anti korupsi dan pengamat konstitusi yang tetap teguh mendorong penguatan MK kedepan, terlepas dari kasus yang menimpa Akil Mochtar.

Merespon reaksi tersebut, pada Sabtu 5 Oktober 2013 lalu, Presiden mengundang beberapa ketua lembaga negara berkumpul dan mendiskusikan strategi “penyelamatan MK.” Sinyal adanya “situasi darurat” mendorong Presiden segera mengambil sikap.

Terakhir, Presiden mengambil keputusan akan mengajukan Perpu penyelamatan MK sebagai tanggungjawab konstitusionalnya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Rencana ini lagi-lagi menuai polemik. Tidak kurang berapa pengamat tata negara, termasuk sejumlah mantan hakim konstitusi dan hakim konstitusi saat ini memberikan respon berbeda. Ada yang menyetujui, dengan pertimbangan Perpu dibutuhkan untuk menyelamatkan MK saat ini. Namun ada pula yang menolak penerbitan Perpu, dengan alasan mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman yang seharusnya mandiri. Maupun alasan ekstrim lainnya, Perpu tersebut akan “mengebiri” MK. Mantan Ketua MK Jimly Ashiddiqqie dan sejumlah hakim MK lainnya berada dalam barisan penentang Perpu ini.

Dalam pengamatan yang proporsional, tulisan ini akan membedah polemik Perpu MK yang rencananya akan diterbitkan oleh Presiden dalam waktu dekat.

Perlukah Perpu MK?

Secara konstitusional, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini kemudian disebutkan kembali dalam Pasal 1 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan, bahwa Perpu adalah peraturan perundang-undangan yang  ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.

Ada dua aspek terkait tafsir terhadap kedua pasal ini. Pertama, subjek yang berwenang mengeluarkan Perpu ini adalah presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintah negara (top executive). Kedua, Perpu dikeluarkan akibat situasi “genting” dan “memaksa.”

Untuk aspek pertama, konstitusi maupun undang-undang terkait secara tegas dan jelas memberikan hak kepada presiden untuk menerbitkan Perpu. Kata “hak” disini bisa ditafsirkan sebagai kewenangan. Artinya, Presiden berwenang menerbitkan Perpu dengan alasan sebagaimana mestinya.

Pada konteks ini, hal tersebut tidak masalah. Konstitusi memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden dalam menjalankan pemerintahan, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara. Termasuk dalam menerbitkan Perpu.

Masalah muncul terkait istilah “kegentingan” dan situasi yang “memaksa” presiden untuk menerbitkan Perpu ini. Muncul perdebatan, apakah kasus Akil Mochtar yang berimbas pada kekosongan kursi hakim di Mahkamah Konstitusi bisa ditafsirkan sebagai situasi yang genting dan memaksa itu? Apakah tafsir situasi genting dan memaksa itu bisa disamakan jika negara dalam masa darurat perang, bencana kelaparan, atau diserang wabah penyakit?

Tidak berhenti disitu, pertanyaan lain mengemuka. Apakah Perpu tersebut menerobos batas independensi kekuasaan kehakiman (independent of judiciary power) yang seharusnya mandiri, lepas dari intervensi kekuasaan lain? Sehingga Presiden bisa dituduh menyalahgunakan kekuasaannya yang bisa berakibat presiden bisa di impeach? Mengapa tidak dikembalikan saja pada DPR untuk mengajukan penggantian hakim MK yang menjadi kewenangannya? Toh juga Perpu tersebut belum tentu disetujui DPR. Pertanyaan ini berputar dikepala para pengamat dan pegiat konstitusi, termasuk presiden sendiri.  

Memang debatable. Tidak saja soal materi Perpu yang diatur. Perpu ini juga membuka ruang konflik antara eksekutif dan yudikatif. Prinsip independensi kekuasaan kehakiman bisa menjerat presiden dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apalagi MK sudah “mengancam” akan me-judicial review Perpu itu. Walaupun suara dari pengamat tata negara, seperti Yusril Ihza Mahendra menganggap jika MK kurang etis jika me-judicial review Perpu, seandainya Perpu tersebut sudah ditetapkan oleh Presiden setelah disetujui DPR. Alasannya sederhana, MK tidak mungkin menguji dirinya sendiri.

Rencana isu yang akan dimuat dalam Perpu juga mengundang perdebatan. Materi tersebut menyentuh kewenangan MK yang sangat substansial. Seperti soal materi Perpu yang “memerintahkan” Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi MK. Jika ini dimuat, maka Perpu tersebut “melawan” putusan MK pada tahun 2006 dalam pengujian undang-undang (PUU) No 22 Tahun 2004 tentang KY. Dalam putusan yang gugatannya diajukan sejumlah hakim agung tersebut, hakim konstitusi dan hakim agung bukan merupakan objek pengawasan KY.

Terkesan arogan memang. KY jelas meradang karena merasa hak konstitusionalnya “dikebiri” oleh putusan tersebut. Jika Perpu tersebut keluar, KY merasa “diuntungkan.” Walaupun itu mengindikasikan eksekutif sudah terlalu jauh masuk dalam wilayah yudikatif. Perpu tersebut berefek ganda, “mengebiri” MK, juga “memerintah” KY. Ini sebenarnya tidak baik dalam konteks independensi kekuasaan kehakiman. 

Kemudian, jika materi tersebut mengurusi kewenangan MK terkait penyelesaian sengketa hasil pemilukada yang menjadi ruang masuknya potensi korupsi sebagaimana dialami Akil Mochtar kali ini. Entah membatasi sebagian dari kewenangan MK itu atau menghapus seluruhnya, juga bisa mengundang polemik. Jika ingin aman, presiden bisa mengambil keputusan membentuk pengadilan pemilu yang akan mengadili semua sengketa pemilu, termasuk pemilukada, yang hakim-hakimnya diisi oleh mantan hakim yang berintegritas. Akan tetapi, pengadilan pemilu juga harus dibentuk melalui undang-undang dengan melibatkan DPR, tidak bisa cuma Keppres, Perpres atau produk hukum lain yang hanya dikeluarkan presiden. Posisi kembali debatable.

Berbagai masalah tersebut membuat posisi presiden dalam menerbitkan Perpu penyelamatan MK menjadi dilematis dan memicu polemik yang berkepanjangan. Bisa-bisa hal ini menjurus pada isu politik terkait Pilpres 2014 yang akan menimbulkan kegaduhan politik baru. Presiden pasti bersikap hati-hati memikirkan hal ini.

Tapi kembali kepada tafsir konstitusi, presiden sebagai penanguggungjawab tertinggi kekuasaan pemerintahan negara berkewajiban memikirkan jalan keluar atas masalah ini. Presiden juga memikirkan berbagai polemik tersebut, akan tetapi pada saat yang bersamaan ia tidak menemukan saluran hukum lain yang lebih solutif untuk memecahkan masalah MK ini. Menunggu DPR menggunakan kewenangannya mengusulkan hakim pengganti akan memakan waktu yang lama sementra situasi saat ini dipandang dalam status “genting/darurat”. Sejumlah perkara harus segera disidangkan dan dputuskan. Sehingga menganggap ada alasan untuk mengeluarkan Perpu.

Terlepas dari itu, publik menunggu langkah taktis dan cerdas dari presiden untuk mengatasi masalah ini. Solusi yang harus dikeluarkan harus bersifat solutif dan komprehensif, memecahkan masalah dengan tidak menimbulkan kegaduhan politik yang baru. Negara ini sudah sering dibuat gaduh oleh masalah sepele yang sengaja dibesar-besarkan. Jangan menunggu rakyat yang bersikap. Karena bisa jadi, itu tanda negara ini diambang revolusi.

 

Dimuat di Koran Media Indonesia, 18 Oktober 2013

Dipublikasi di Uncategorized | Meninggalkan komentar