LEGAL ANOTASI Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Perppu No 1/2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK Menjadi Undang-Undang, terhadap UUD 1945.

A.PENGANTAR
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1-2/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang, terhadap UUD 1945 ini bermula dari polemik yang menimpa MK saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Ketua MK Akil Mochtar dalam dugaan suap sengketa perselisihan pemilukada di Kab Gunung Mas, Kalimantan Timur (Kaltim) yang kemudian meluas pada beberapa pilkada di sejumlah propinsi di Indonesia.
KPK kemudian menetapkan Akil sebagai tersangka. Tertangkap tangannya Akil saat itu cukup mengguncang dunia penegakan hukum yang kemudian berimbas secara kelembagaan terhadap MK. Kredebilitas MK yang selama ini dipandang relatif bersih, luntur seketika. Kesucian Jubah Merah ternoda, dinodai hakimnya sendiri. Suara-suara sumbang mulai bermunculan, antara pihak yang menghendaki MK dibubarkan, maupun barisan pengamat dan pakar hukum tata negara yang teguh mendorong evaluasi MK secepatnya untuk menyelamatkan wibawa MK yang sudah berada di titik nadir.
Polemik status Akil Mochtar yang menjadi tersangka KPK menjadi bola liar. Isu ini kemudian menggiring Presiden untuk segera mengambil sikap. Presiden berada ditengah-tengah arus aspirasi publik yang menuntut adanya keputusan yang bersifat konkrit dan segera. Antara reaksi kekecewaan publik, suara-suara yang menghendaki MK dibubarkan saja, hingga kalangan aktivis anti korupsi dan pengamat konstitusi yang tetap teguh mendorong penguatan MK kedepan, terlepas dari kasus yang menimpa Akil Mochtar.
Merespon situasi tersebut, pada Sabtu 5 Oktober 2013 lalu, Presiden mengundang beberapa ketua lembaga negara berkumpul dan mendiskusikan strategi “penyelamatan MK.” Sinyal adanya “situasi darurat” mendorong Presiden segera mengambil sikap.
Presiden mengambil keputusan akan mengajukan Perpu penyelamatan MK sebagai tanggungjawab konstitusionalnya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan negara. Rencana ini lagi-lagi menuai polemik. Tidak kurang berapa pengamat tata negara, termasuk sejumlah mantan hakim konstitusi dan hakim konstitusi saat ini memberikan respon berbeda. Ada yang menyetujui, dengan pertimbangan Perpu dibutuhkan untuk menyelamatkan MK saat ini. Namun ada pula yang menolak penerbitan Perpu, dengan alasan mengintervensi independensi kekuasaan kehakiman yang seharusnya mandiri. Maupun alasan ekstrim lainnya, Perpu tersebut akan “mengebiri” MK. Mantan Ketua MK Jimly Ashiddiqqie dan sejumlah hakim MK lainnya berada dalam barisan penentang Perpu ini.
Akhirnya pada 17 Oktober 2013, Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK, yang kemudian menjadi UU No 4 Tahun 2014 tentang Pengesahan Perpu No 1 Tahun 2013.
Perppu ini kemudian menuai polemik. Meskipun secara konstitusional, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945. Bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang. Hal ini kemudian disebutkan kembali dalam Pasal 1 ayat (4) UU No 12 Tahun 2011 tentang Tata Urutan Perundang-Undangan, bahwa Perpu adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa.
Ada dua aspek terkait tafsir terhadap kedua pasal ini. Pertama, subjek yang berwenang mengeluarkan Perpu ini adalah presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintah negara (top executive). Kedua, Perpu dikeluarkan akibat situasi “genting” dan “memaksa.”
Untuk aspek pertama, konstitusi maupun undang-undang terkait secara tegas dan jelas memberikan hak kepada presiden untuk menerbitkan Perpu. Kata “hak” disini bisa ditafsirkan sebagai kewenangan. Artinya, Presiden berwenang menerbitkan Perpu dengan alasan sebagaimana mestinya Pada konteks ini, hal tersebut tidak masalah. Konstitusi memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden dalam menjalankan pemerintahan, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara. Termasuk dalam menerbitkan Perpu. Perppu adalah emergency power yang dimiliki oleh Presiden. Perppu merupakan hak darurat (nood verordeningsreht) Presiden untuk menerbitkan produk hukum dengan nama peraturan pemerintah, namun dengan substansi Undang-Undang.
Masalah muncul terkait istilah “kegentingan” dan situasi yang “memaksa” presiden untuk menerbitkan Perpu ini. Muncul perdebatan, apakah kasus Akil Mochtar yang berimbas pada kekosongan kursi hakim di Mahkamah Konstitusi bisa ditafsirkan sebagai situasi yang genting dan memaksa itu? Apakah tafsir situasi genting dan memaksa itu bisa disamakan jika negara dalam masa darurat perang, bencana kelaparan, atau diserang wabah penyakit?
Tidak berhenti disitu, pertanyaan lain mengemuka. Apakah Perpu tersebut menerobos batas independensi kekuasaan kehakiman (independent of judicial power) yang seharusnya mandiri, lepas dari intervensi kekuasaan lain? Sehingga Presiden bisa dituduh menyalahgunakan kekuasaannya? Mengapa tidak dikembalikan saja pada DPR untuk mengajukan penggantian hakim MK yang menjadi kewenangannya? Toh juga Perpu tersebut belum tentu disetujui DPR.
Memang debatable. Tidak saja soal materi Perpu yang diatur. Perpu ini juga membuka ruang konflik antara eksekutif dan yudikatif. Prinsip independensi kekuasaan kehakiman bisa menjerat presiden dengan tuduhan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Apalagi MK sudah “mengancam” akan me-judicial review Perpu itu. Walaupun suara dari pengamat tata negara, seperti Yusril Ihza Mahendra menganggap jika MK kurang etis jika me-judicial review Perpu, seandainya Perpu tersebut sudah ditetapkan oleh Presiden setelah disetujui DPR. Alasannya sederhana, MK tidak mungkin menguji dirinya sendiri.
Rencana isu yang akan dimuat dalam Perpu juga mengundang perdebatan. Materi tersebut menyentuh kewenangan MK yang sangat substansial. Seperti soal materi Perpu yang “memerintahkan” Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi MK. Jika ini dimuat, maka Perpu tersebut “melawan” putusan MK pada tahun 2006 dalam pengujian undang-undang (PUU) No 22 Tahun 2004 tentang KY. Dalam putusan yang gugatannya diajukan sejumlah hakim agung tersebut, hakim konstitusi dan hakim agung bukan merupakan objek pengawasan KY.

B.HAL-HAL YANG DIMUAT DALAM UU NO 4 TAHUN 2014
UU No 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas UU No 24 Tahun 2003 tentang MK menjadi undang-undang, memuat 3 (tiga) ketentuan utama, sebagai berikut:
1) Penambahan persyaratan untuk menjadi hakim konstitusi. Perppu mengatur ketentuan tentang syarat/pembatasan 7 (tujuh) tahun tidak aktif sebagai anggota parpol bagi calon hakim konstitusi.
2) Memperjelas mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Perppu mengatur keterlibatan KY dalam pembentukan Panel Ahli untuk menyeleksi calon hakim konstitusi yang diajukan oleh 3 (tiga) lembaga negara; pemerintah (presiden), DPR (legislatif) dan MA (yudikatif).
3) Perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Perppu mengatur dibentuknya Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang sifatnya permanen.

C.HAL-HAL YANG DIMUAT DALAM PUTUSAN
a.Amar Putusan
Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis 13 Februari 2014, MK menyatakan:
1.Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
1.1.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang beserta lampirannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang-Undang beserta lampirannya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
1.3.Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), berlaku kembali sebagaimana sebelum diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5456) yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Menjadi Undang- Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5493);

b.Pertimbangan Mahkamah Konstitusi
1). Pasal 24C ayat (3) UUD 1945 memberikan kewenangan atributif yang bersifat mutlak kepada kepada pemerintah, DPR, dan MA untuk mengajukan calon hakim konstitusi. Kewenangan tersebut tidak boleh diberi syarat-syarat tertentu oleh undang-undang dengan melibatkan lembaga negara lain yang tidak diberi kewenangan oleh UUD, dalam hal ini Komisi Yudisial (KY). Oleh karena itu UU No 4 Tahun 2014 yang mengatur pengajuan calon hakim konstitusi melalui panel ahli, perangkat yang dibentuk KY, nyata-nyata mereduksi kewenangan tiga lembaga tersebut.
2). Keberadaan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) yang diatur dalam UU No 4 Tahun 2014 yang didalamnya mengatur keterlibatan KY melanggar putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian UU KY. MK secara tegas menyatakan bahwa hakim MK tidak terkait dengan ketentuan yang diatur di dalam Pasal 24B UUD 1945. KY bukan lembaga pengawas MK, apalagi lembaga yang berwenang menilai benar atau tidaknya putusan MK sebagai lembaga pengadilan.
3). Tentang syarat calon hakim konstitusi yang tidak menjadi anggota parpol selama tujuh tahun, cenderung dibuat berdasarkan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu pasca penangkapan Akil Mochtar yang saat itu menjadi Ketua MK. MK memandang, stigmatisasi seperti itu menciderai hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin konstitusi.
4). MK juga memandang terbitnya Perpu No 1 Tahun 2013 tidak sesuai dengan ketentuan karena tidak memenuhi syarat kegentingan memaksa yang diatur dalam UU. Menurut MK, Perpu harus mempunyai akibat prompt immediately, yaitu sontak segera untuk memecahkan permasalahan hukum. Perpu No 1 Tahun 2013 tidak memenuhi hal tersebut, terbukti belum adanya satu produk hukum yang dihasilkan Perppu.
5) Bahwa terhadap keterangan tertulis Komisi Yudisial yang mengemukakan bahwa Mahkamah seharusnya tidak melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi, Mahkamah merujuk beberapa pertimbangan yang termuat dalam putusan Mahkamah sebelumnya dan menjadikannya pula sebagai pertimbangan dalam perkara ini, sebagai berikut:
a.MK mendasarkan dirinya pada kasus Marbury vs. Madison di Mahkamah Agung Amerika Serikat. Dalam kasus tersebut, objek yang diuji oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat waktu itu adalah Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman (Judiciary Act 1789), yaitu, Undang-Undang yang mengatur Mahkamah Agung Amerika Serikat sendiri. Terhadap Undang-Undang tersebut Mahkamah Agung Amerika Serikat melakukan pengujian sendiri untuk pertama kali dan memutus untuk pertama kali pula hal yang tidak dimohonkan oleh Pemohon juga diputuskan sehingga putusannya pun ultra petita. Dengan demikian, judicial review tidak dapat dipisahkan dari historisnya, yaitu, pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat terhadap Undang-Undang kekuasaan kehakiman itu sendiri dan memutus hal yang tidak dimohonkan atau ultra petita.
b.Putusan Nomor 004/PUU-I/2003, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, bertanggal 30 Desember 2003, yang mengenyampingkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
c.Putusan Nomor 066/PUU-II/2004, tentang pengujian Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri, bertanggal 12 April 2005, Mahkamah menegaskan kembali dengan mendasarkan pada Putusan Nomor 004/PUU-I/2003 tersebut, bahwa Mahkamah berwenang menguji Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan pada akhirnya mengabulkan permohonan Pemohon dengan menyatakan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
d.Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011, tentang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bertanggal 18 Oktober 2011.
e.Jika Mahkamah dilarang menguji Undang-Undang yang mengatur tentang Mahkamah maka Mahkamah akan menjadi sasaran empuk untuk dilumpuhkan melalui pembentukan Undang-Undang untuk kepentingan kekuasaan, yaitu manakala posisi Presiden mendapat dukungan yang kuat dari DPR atau sebaliknya.

D.SIKAP TERHADAP PUTUSAN MK
Sejak awal, Penulis memandang jika penerbitan Perppu ini sudah melampaui batas kewenangan pemerintah, karena pemerintah merombak isi konsitusi terkait pembentukan Panel Ahli yang akan melakukan seleksi calon hakim konstitusi yang diajukan oleh 3 (tiga) lembaga negara; presiden (pemerintah), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif) yang berbeda dengan bunyi UUD 1945.
Menempatkan dirinya sebagai ‘penafsir tunggal konstitusi’, dalam putusannya MK mengatakan bahwa semua pokok permohonan merupakan ‘jantung’ atau substansi inti dari UU No 4 Tahun 2014. MK memutus mengabulkan semua permohonan. Itu artinya, UU No 4 Tahun 2014 tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional).
Terhadap putusan MK ini, penulis sepenuhnya sepakat dalam hal sikap MK yang telah berhasil ‘membebaskan’ MK dari intervensi kekuasaan lain sebagai akibat terbitnya Perppu No 4 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4 Tahun 2014. Namun demikian, ada catatan koreksi terhadap putusan ini, sebagai berikut:
1.Putusan MK ini ‘rumit’ dipahami alur logika dan interpretasi hukumnya. Meskipun secara positif MK berhasil ‘membebaskan’ dirinya dari intervensi kekuasaan lain (pemerintah/eksekutif) sebagai akibat terbitnya Perppu No 1 Tahun 2013 yang kemudian dikuatkan menjadi UU No 4 Tahun 2014. Sifat ‘genting dan memaksa’ itu juga tidak cukup kuat sebagai alasan keluarnya Perppu karena UU MK mengatur masih bisa bersidang dengan 7 (tujuh) orang hakim (minimal), (Penulis sepakat dengan penjelasan ahli Prof.Dr. Saldi Isra sebagaimana terlampir dalam putusan).
Rumit, karena asas universal, “nemo judex in re sua” yang berlaku dalam kekuasaan kehakiman, bahwa hakim tidak boleh menilai dirinya sendiri secara terang dilanggar oleh MK ketika memutus Perppu ini (termasuk sejumlah putusan lain yang juga menyentuh langsung MK). Ini asas yang diterima secara universal dan shahih. Akan tetapi Penulis memandang, MK ‘tidak memiliki pilihan lain’ selain memutus UU No 4 Tahun 2014 ini inkonstitusional untuk melindungi dirinya dari intervensi kekuasaan lain.
2.Terkait legal standing, lebih shahih jika MK sendiri yang menjadi ‘subjectum litis’ dalam perkara ini, karena MK yang menerima dampak langsung dari berlakunya UU No 4 Tahun 2014, namun itu tidak dimungkinkan mengingat ketentuan perundang-undangan tidak mengatur itu. Para pemohon yang ada dalam putusan ini tidak cukup kuat dari sisi legal standing, karena kerugian konstitusional yang dialami tidak konkrit sebagai akibat dari terbitnya UU No 4 Tahun 2014 in litis tersebut. Legal standing adalah mereka yang secara nyata telah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya sebuah undang-undang. Sementara dalam putusan, kedudukan legal standing pemohon lemah (penulis sepakat dengan pendapat ahli Prof.Dr.Phillipus M. Hadjon sebagaimana termuat dalam putusan). Dalil tunggal yang dijadikan legal standing oleh pemohon adalah status pemohon selaku warga negara yang rutin membayar pajak. Dalam teori pengujian undang-undang yang berlaku di MK, jika kedudukan hukum (legal standing) itu tidak cukup kuat, maka permohonan (PUU) tersebut harus ditolak.
3.Sehingga MK menyelamatkan kelemahan legal standing pemohon ini dengan dalil “objectum litis”. “Bahwa salah satu ‘objectum litis’ dari proses peradilan di Mahkamah adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum yang tertinggi. Oleh karena itu, Mahkamah lebih menekankan pada fungsi dan tugasnya mengawal dan menegakkan konstitusi dengan tetap menjaga prinsip independensi dan imparsialitas dalam keseluruhan proses peradilan.”
Hal tersebut dipakai oleh MK untuk ‘menafsirkan’ dirinya sebagai ‘bagian yang tidak terpisahkan’ dari pokok permohonan yang diajukan pemohon dalam setiap permohonan pengujian undang-undang yang dimohonkan. Dalil itu ‘mengunci’ setiap pendapat yang mengatakan MK tidak berwenang menguji dirinya.
4.Soal keterlibatan KY dalam pembentukan panel ahli memang mereduksi kewenangan tiga lembaga negara; Presiden (pemerintah), DPR (legislatif), dan MA (yudikatif) dalam pengajuan (bukan pengusulan) 3 (tiga) hakim konsitusi. KY melebihi kewenangannya karena ikut menentukan lolos tidaknya nama-nama calon hakim konstitusi yang diajukan ketiga lembaga negara tersebut. Sementara tafsir UUD 1945 dan UU Kekuasaan Kehakiman tidak mengatur kewenangan KY sampai sejauh itu.
Namun demikian, kedudukan KY sebagai salah satu ‘pelaku’ kekuasaan kehakiman (judicial power) tidak bisa dinafikkan. KY tetap memiliki peran yang sangat signifikan dalam politik kekuasaan kehakiman. UUD 1945 menempatkan KY bersama MK dan MA dalam Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman. Tafsir konstitusi tersebut memberikan peran yang sangat penting bagi KY. KY tidak bisa dipandang sebagai state auxiliary organ sehingga berakibat ia dipandang inferior dan menjadi ‘sub-ordinat’ MA dan MK dalam politik kekuasaan kehakiman.
UUD 1945 ‘memerintahkan’ KY untuk menjalankan fungsi pengawasan dan menjaga keluhuran dan martabat hakim. Pengawasan tersebut berpijak pada teori ‘tidak ada kekuasaan tanpa pengawasan’. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan terhadap perilaku hakim, bukan kinerja hakim dalam memutus sebuah perkara. Juga, hakim yang menjadi objek pengawasan KY ini tidak hanya hakim pada jenjang pengadilan dibawah MA, namun juga MA dan MK seharusnya menjadi objek pengawasan KY. ‘Hakim’ itu tidak bisa ditafsirkan secara rigid dan sempit hanya pada hakim pada pengadilan dibawah MA, namun semua hakim, termasuk hakim konstitusi dan hakim agung, harus menjadi objek pengawasan KY. Status “Agung’ dan “konstitusi’ itu hanya embel-embel dalam struktur kekuasaan kehakiman yang menempatkan MK dan MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tertinggi. Status tersebut tidak lantas dipandang superior sehingga memunculkan arogansi kelembagaan dan individual yang tidak produktif. Namun perlu ditekankan juga, pengawasan ini hanya terkait perilaku hakim, bukan pada teknis peradilan/putusan.
Seyogyanya, MK-MA-KY ditempatkan dalam posisi yang sama, sebagai sesama pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power). Tafsir UU Kekuasaan kehakiman harus dipahami sebagai satu kesatuan. Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman tanpa memandang hierarkis-struktural, dan tanpa embel-embel “hakim agung” atau “hakim konstitusi” yang lebih superior dibanding yang lain. Sehingga menimbulkan arogansi dan narsisme yang berlebihan. Status hakim semua sama. Tidak peduli yang bertitel “agung” atau “konstitusi.” Hakim adalah hakim. Bukan Tuhan atau Dewa, tapi manusia yang punya kekurangan.
Keberadaan KY seyogianya dipandang sebagai perwujudan prinsip check and balances antar cabang kekuasaan kehakiman. Sebagaimana keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI hubungannya dengan DPR RI dalam struktur kekuasaan legislatif. Hadirnya KY mewujudkan harmonisasi kekuasaan kehakiman, agar tidak ada kekuasaan yang kebablasan, dan tidak ada kekuasaan yang melampaui batas atau disalahgunakan (abuse of power), sehingga pengawasan mutlak diperlukan.
5.Soal independensi. Meskipun MK dapat melepaskan dirinya dari kungkungan intervensi kekuasaan lain, namun patut juga dikritik kekuasaan yang bersumber dari pemerintah dan DPR. Apakah itu bukan sebuah intervensi? Konteks independensi kekuasaan kehakiman pada 2 (dua) aspek; aspek kelembagaan dan teknis peradilan, termasuk putusan. Kewenangan pemerintah dan DPR dalam pengajuan 3 (tiga) hakim konstitusi adalah bentuk dari intervensi itu meskipun berasal dari konstitusi. Jadi dengan sendirinya, konstitusi sudah membatasi status independensi hakim MK itu.
6.MK tidak cukup bijak saat memutus perkara ini dengan tetap melibatkan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida. Padahal diketahui, SK pengangkatan Patrialis dan Maria oleh Presiden digugat oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum di PTUN Jakarta dan dimenangkan. Seyogianya MK menunjukan sikap negarawan itu dengan me-non aktif-kan untuk sementara waktu keduanya sebagai hakim MK sampai putusan inkracht pada pengadilan tingkat banding atau kasasi di MA (jika ini dilakukan) menyatakan SK Presiden tersebut sah atau tidak.

E.PENUTUP
1.Sebagai peradilan konstitusional (constitutional court), independensi MK perlu tetap dijaga, hal ini tidak saja sebagai upaya untuk mewujudkan demokrasi konstitusional (constitutional democracy), namun juga untuk menguatkan fungsi MK sebagai pengawal hak asasi manusia.
2.Namun demikian, hal tersebut membuat tidak lantas membuat MK membatasi diri dari pengawasan, apakah pengawasan oleh masyarakat sipil maupun peran pengawasan yang dilakukan oleh suatu badan yang ditunjuk oleh UUD maupun undang-undang.
3.Penting untuk mempertahankan syarat ‘negarawan’ dan ‘paham konstitusi’ sebagai ukuran menjadi calon hakim konstitusi. Karena seorang hakim konstitusi haruslah seseorang yang memiliki kemampuan hukum memadai dan menguasai isu-isu ketatanegaraan, serta tidak memiliki kepentingan politik apapun selain semata-mata mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara.

Makassar, 15 Februari 2014
Eksaminator

Wiwin Suwandi

Tentang wiwinsuw4ndi

Wiwin Suwandi. Lahir di Buton ( Sultra) 9 Mei 1985. Menamatkan pendidikan dari SD-SMA di kota kelahirannya. Menjadi mahasiswa program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Unhas pada tahun 2003 melalui jalur matrikulasi dan menamatkan studi pada 9 September 2009. Aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Sempat meniti karir jurnalistik sebagai wartawan kampus pada Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH). Menjabat sebagai Pimred Buletin Eksepsi Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH) pada tahun 2004. Ketua LPMH-UH pernah disandangnya pada tahun 2005. Menjadi Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Makassar membuatnya sering berkeliling Pulau Jawa dan membangun komunikasi dengan mahasiswa di kampus-kampus di Jawa. Menjabat sebagai Koordinator Law and Advokasi Asian Law Student’s Association (ALSA) KLI Unhas tahun 2006, Koordinator Hukum dan Advokasi Ikatan Mahasiswa Kabupaten Buton (IMAKAB) dipegangnya pada tahun 2006. Sempat menjadi ’pengembara’ dalam rangka penelitian skripsi di kantor Komnas HAM Pusat dan Balitbang HAM Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta pada bulan April-Mei 2009. Menjadi staf peneliti pada Pusat Studi dan Pengkajian HAM (PSP-HAM) dan Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas. Menjadi editor Modul Hukum Laut dan Hukum Internasional yang dipakai sebagai bahan ajar pada Fakultas Hukum Unhas. Pada tahun 2008. Menjadi editor buku Hukum Internasional terbitan Fakultas Hukum Unhas. Pada April-Oktober 2008 bergabung dalam Tim Riset Assesment Report Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), kerjasama PSP-HAM Unhas dan ICMC di 6 propinsi (Sulsel, Sulut, Jatim, Kaltim, NTT, NTB). Sebagai intelektual muda, tulisannya sering ’nongkrong’ di koran-koran lokal seperti FAJAR dan TRIBUN TIMUR. Diantaranya; Indonesia: Republik dengan Konstitusi Bunglon (Tribun Timur), Surat Untuk Wakil Rakyat (Tribun Timur), Demokrasi dan Regenerasi Koruptor (Tribun Timur), Pemberantasan Korupsi: Antara Das Sollen dan Das Sein (FAJAR), Penegakan Hukum: Antara Law in Book dan Law in Action (FAJAR), Demokrasi Jahiliyah (FAJAR), Memaafkan Sri Mulyani;Bergesernya Teori Rule of Law (FAJAR), Diskriminasi Konstitusi dalam Pemenuhan Hak Sipol dan Ekosob (Majalah Konstitusi terbitan MK RI edisi Februari 2010) serta beberapa tulisan lainnya yan bertebaran di media massa lokal..
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar