SAAT NEGARA SERING DITEGUR (Menyoal Pelemik Dana Saksi Parpol)

Polemik dana saksi parpol untuk pemilu 2014 yang tak kunjung berhenti menandakan negara lalai dalam memahami dan membuat peraturan. Dasar teori kebijakan publik selalu berpijak pada asas kepentingan umum, bukan kepentingan sepihak. Selama ini negara sering dipandang keliru atau lalai ketika membuat peraturan. Peraturan yang dibuat cenderung menguntungkan satu pihak, dan pada akhirnya dipersoalkan sehingga membuat negara kehilangan wibawa dimata rakyat.   

Kita masih ingat, saat Yusril Ihza Mahendra memenangkan gugatan melawan negara dalam pengujian Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi pada 2010 lalu. Buntut dari putusan MK tersebut, Presiden SBY akhirnya mengeluarkan SK pemberhentian, alias memecat Hendarman sebagai Jaksa Agung.

Secara politis, putusan itu tidak saja dipandang sebagai kemenangan Yusril terhadap Hendarman dalam “perang” kasus korupsi Sisminbakum, namun juga kemenangan Yusril terhadap negara. Karena pada akhirnya, Gedung Bundar menyerah dengan mengeluarkan SP3 kasus korupsi Sisminbakum. Kemenangan ini terasa “istimewa” bagi Yusril. Karena selain berhasil mengalahkan negara dalam uji materi UU Kejaksaan, ia juga lolos dari kasus korupsi Sisminbakum.

Berlanjut, pada Juni 2012, MK mengabulkan gugatan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) yang juga didukung oleh Yusril Ihza Mahendra dalam uji materi UU Kementerian Negara. MK memutus bahwa keberadaan wakil menteri inkonstitusional. SBY pun mengubah dan memperbarui Keppres dan Perpres pengangkatan para wakil menteri yang sementara menjabat.

Pada November 2013, negara lagi-lagi keok. Kali ini pukulan itu sangat telak ke ulu hati, langsung ke jantung Istana. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama Koalisi Masyarakat Sipil mempersoalkan SK pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida Indarti sebagai hakim konstitusi. Mereka menggugat keputusan itu di Pengadilan TUN dan dimenangkan. Pengadilan mengabulkan dan memutus bahwa SK Pengangkatan Patrialis Akbar sebagai hakim MK tidak sah (cacat), karena tidak melalui proses sebagaimana diatur dalam UU MK. Negara kembali “dipermalukan”.

Presiden sebagai pihak yang paling bertanggungjawab dalam penunjukan Patrialis sebagai hakim MK dituding ceroboh. Perppu No 1 Tahun 2013 terkait langkah penyelamatan MK ditengah kasus korupsi Akil Mochtar yang membelit MK saat itu dipandang sebagai ‘Perpu Penebus Dosa’, Presiden dianggap ‘cuci tangan’ atas kekeliruannya dalam menunjuk Patrialis. Tentu sangat mempengaruhi wibawa pemerintah (negara).

Masih banyak kasus lain yang menandakan lemahnya kemampuan negara dalam membuat sebuah aturan yang pada akhirnya menjadi bumerang di kemudian hari. Belum lagi kita bicara soal banyaknya undang-undang – hasil kompromi politik antara eksekutif dan legislatif – yang dinyatakan inkonsitusional di Mahkamah Konstitusi. Kasus terakhir terkait polemik pengangkatan Patrialis yang dibatalkan di PTUN adalah bukti negara lalai, keliru dan tidak cermat dalam merumuskan sebuah peraturan. 

Polemik Dana Saksi

Dalam polemik dana saksi parpol untuk pemilu 2014, negara kembali harus berhadap-hadapan (vis a vis) dengan rakyat. Sejak jauh hari suara-suara yang mengkritik kebijakan ini tidak pernah surut, bahkan makin lantang. Tapi ibarat ‘anjing mengonggong kafilah berlalu’, pemerintah terkesan ngotot tetap mendorong agar dana saksi parpol untuk pemilu 2014 ini disetujui.

Peta politik sudah memperlihatkan jika dari sembilan partai yang memiliki kursi di parlemen saat ini, tujuh partai menyatakan sikap setuju dan dua lainnya menolak. Namun perdebatannya terlalu sempit jika hanya berputar soal setuju atau tidak setuju, karena teori politiknya sudah begitu. Akan lebih bagus jika diskusinya diarahkan pada urgensi dana itu dan dasar/payung hukumnya. Mari kita cermati agar isunya tidak menjadi liar.

UU Pileg No 8 Tahun 2012 mengatur ketentuan tentang larangan parpol memperoleh sumbangan yang berasal dari negara. Pasal 139 ayat (10) huruf (c) UU Pileg menyebutkan bahwa “..peserta pemilu dilarang menerima sumbangan dana kampanye pemilu yang berasal dari… (c) pemerintah….”. tafsir Pasal ini sudah jelas jika parpol sebagai peserta pemilu itu dilarang memperoleh sumbangan dana kampanye yang berasa dari pemerintah (APBN)

Dalam UU APBN No 23 Tahun 2013 maupun UU APBN sebelumnya (UU APBN No 19 Tahun 2012), juga sama sekali tidak mengatur ketentuan soal APBN yang digunakan untuk pembiayaan politik (coba buka dan baja kedua UU itu). Makanya aneh kemudian jika pemerintah (melalui kementerian keuangan) mengatakan jika alokasi dana saksi parpol tersebut memiliki payung hukum. Ini tafsir yang kacau jika negara merekayasa sesuatu yang tidak jelas pertuntukan dan dasar hukumnya.  

Dalam pengamatan penulis, alasan yang sering dipakai oleh parpol yang menyetujui alokasi dana ini hanya pada UU Parpol No 2 Tahun 2012 pada Pasal 34. Akan tetapi Pasal 34 UU Parpol ini hanya mengatur bantuan keuangan negara terhadap parpol untuk fungsi kaderisasi parpol. Dan terkait kaderisasi parpol ini diperjelas pada Pasal 34 ayat (3b) hanya untuk kaderisasi parpol dalam konteks; pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.

Disitu tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang dana saksi sebagai bagian dari kaderisasi itu.  Sehingga menjadi jelas jika ini hanya alasan ngawur yang dibuat oleh Parpol sendiri untuk membajak anggaran negara untuk kepentingan pribadinya.

Membuka Potensi Korupsi

Dalam sejumlah diskusi, sikap saya tetap tegas menyatakan jika alokasi dana ini tidak memiliki urgensi kepentingan yang jelas (selain hanya untuk kepentingan parpol semata) dan tidak memiliki payung hukum yang kuat. Ini juga membuka potensi korupsi karena rawan disalahgunakan.

Dana ini rawan disalahgunakan jika melihat sikap parpol selama ini yang enggan membuka transparansi sumber pendanaan parpol yang berasal dari bantuan pihak ketiga. Jadi sebelum parpol ngotot menuntut bantuan negara untuk membiayai saksi mereka, parpol harus menjawab pertanyaan publik akan sumber sumbangan yang dikelola parpol. Apakah sumbangan itu diperoleh secara halal atau tidak. Parpol harus mampu menjawab itu dengan membuka data sumbangan dana dari pihak ketiga. Ini penting untuk menjaga kualitas demokrasi.

Kita tidak ingin partai yang memenangi pemilu dan partai yang lolos ke parlemen ternyata dibiayai cukong yang memiliki kepentingan politik tertentu. Jika terjadi, ini namanya membajak demokrasi, dan kita tidak menginginkan hal itu terjadi.

Jadi seyogianya pemerintah tidak menyetujui alokasi dana saksi parpol ini agar tidak masuk dalam pusaran korupsi politik yang lebih luas, dan yang lebih penting, agar tidak lagi ditegur oleh rakyatnya sendiri apabila nanti pemerintah tetap ngotot menyetujui dana ini, dan rakyat menggugatnya, dan walhasil menang.

 

Koran SINDO, Sabtu 15 Februari 2014

Tentang wiwinsuw4ndi

Wiwin Suwandi. Lahir di Buton ( Sultra) 9 Mei 1985. Menamatkan pendidikan dari SD-SMA di kota kelahirannya. Menjadi mahasiswa program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Unhas pada tahun 2003 melalui jalur matrikulasi dan menamatkan studi pada 9 September 2009. Aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Sempat meniti karir jurnalistik sebagai wartawan kampus pada Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH). Menjabat sebagai Pimred Buletin Eksepsi Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH) pada tahun 2004. Ketua LPMH-UH pernah disandangnya pada tahun 2005. Menjadi Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Makassar membuatnya sering berkeliling Pulau Jawa dan membangun komunikasi dengan mahasiswa di kampus-kampus di Jawa. Menjabat sebagai Koordinator Law and Advokasi Asian Law Student’s Association (ALSA) KLI Unhas tahun 2006, Koordinator Hukum dan Advokasi Ikatan Mahasiswa Kabupaten Buton (IMAKAB) dipegangnya pada tahun 2006. Sempat menjadi ’pengembara’ dalam rangka penelitian skripsi di kantor Komnas HAM Pusat dan Balitbang HAM Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta pada bulan April-Mei 2009. Menjadi staf peneliti pada Pusat Studi dan Pengkajian HAM (PSP-HAM) dan Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas. Menjadi editor Modul Hukum Laut dan Hukum Internasional yang dipakai sebagai bahan ajar pada Fakultas Hukum Unhas. Pada tahun 2008. Menjadi editor buku Hukum Internasional terbitan Fakultas Hukum Unhas. Pada April-Oktober 2008 bergabung dalam Tim Riset Assesment Report Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), kerjasama PSP-HAM Unhas dan ICMC di 6 propinsi (Sulsel, Sulut, Jatim, Kaltim, NTT, NTB). Sebagai intelektual muda, tulisannya sering ’nongkrong’ di koran-koran lokal seperti FAJAR dan TRIBUN TIMUR. Diantaranya; Indonesia: Republik dengan Konstitusi Bunglon (Tribun Timur), Surat Untuk Wakil Rakyat (Tribun Timur), Demokrasi dan Regenerasi Koruptor (Tribun Timur), Pemberantasan Korupsi: Antara Das Sollen dan Das Sein (FAJAR), Penegakan Hukum: Antara Law in Book dan Law in Action (FAJAR), Demokrasi Jahiliyah (FAJAR), Memaafkan Sri Mulyani;Bergesernya Teori Rule of Law (FAJAR), Diskriminasi Konstitusi dalam Pemenuhan Hak Sipol dan Ekosob (Majalah Konstitusi terbitan MK RI edisi Februari 2010) serta beberapa tulisan lainnya yan bertebaran di media massa lokal..
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar