HUKUM DI ARAS POLITIK

Sudah menjadi sesuatu yang “ditakdirkan”, jika hukum dan politik selalu berjalan beriringan. Sehingga tidak heran kemudian, jika ada isu hukum yang mencuat, maka otomatis diikuti dengan isu politik. Hukum dan politik ibarat “pinang dibelah dua”, “saudara kandung” atau “saudara kembar.” Pun juga diikuti dengan komentar sejumlah pihak berkepentingan.

 

Hal ini bisa dilihat dari sejumlah kasus hukum yang mencuat. Contoh menarik adalah kasus korupsi Century dan Hambalang. Dua kasus ini menjadi perhatian jagad publik tanah air karena dua faktor; keterlibatan sejumlah elit dan nilai kerugian negara yang ditimbulkan, hingga mencapai kisaran triliunan rupiah.

 

Awalnya, Century dan Hambalang adalah kasus hukum, posisinya sudah jelas dalam tafsir tindak pidana korupsi. Meskipun proses hukum terhadap kasus ini masih berjalan, namun beberapa fakta hukum terkuak satu persatu. Ada pelaku dan ada nilai kerugian negara yang ditimbulkan.

 

KPK sebagai lembaga penegak hukum sejak jauh hari sudah mengusut sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam kasus ini. Sejumlah nama sudah ditetapkan sebagai tersangka. Dalam kasus Century, ada Budi Mulya dan Siti Fadjriyah. Pun dalam kasus Hambalang, Alfian Mallarangeng, Anas Urbaningrum, Nazaruddin dan sejumlah nama lain sudah ditetapkan sebagai tersangka. Korupsi merupakan kejahatan kerah putih (white collar crime). Sehingga tidak heran, jika yang terlibat adalah orang-orang penting, berduit dan berdasi.

 

Bias Isu

Karena melibatkan sejumlah elit, kasus ini kemudian merambat ke politik. Sejumlah komentar mengemuka; mulai dukungan dan tekanan kepada KPK, hingga asumsi liar yang dibangun dan didesain sedemikian rupa oleh kepentingan tertentu. Semua isu yang mencuat berdiri diatas kepentingan masing-masing.

 

Dalam kasus Century, desakan dan tekanan kepada KPK sangat kuat terkait tudingan keterlibatan Wapres Boediono yang saat itu menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI), dan Sri Mulyani yang saat itu sebagai Menteri Keuangan. Keduanya dianggap lalai dan bertanggungjawab terhadap kebijakan bailout yang kemudian merugikan keuangan negara triliunan rupiah. Ditengah upaya KPK yang sedang bekerja mengusut kasus ini, politik kemudian masuk dan menggiring isu pada wilayah kekuasaan.

 

Menjelang Pemilu, isu ini menjadi semakin “seksi”. Tidak keliru kemudian jika serangan terhadap Boediono ditujukan kepada SBY selaku kepala negara, yang saat itu masih menjabat pada periode pertama (KIB I). Selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, SBY pun dianggap lalai mengawasi kebijakan yang kemudian merugikan keuangan negara. Roda isu terus bergulir dalam arus politik yang sangat deras dan “panas.’

 

Beralih ke Hambalang, KPK sudah menetapkan sejumlah nama sebagai tersangka. Beberapa diantaranya pernah menduduki jabatan penting di pemerintahan, seperti Anas Urbaningrum (DPR), Alfian Malarangeng (Menpora) dan Nazaruddin (Banggar DPR). KPK sudah mengantongi sejumlah bukti, termasuk unsur kerugian negara melalui hasil audit BPK untuk menyeret sejumlah nama tersebut ke kursi pesakitan.

 

Politik pun ikut-ikutan masuk. Apes bagi Demokrat, dua kasus ini; Century dan Hambalang menjadi senjata paling ampuh yang digunakan lawan politik untuk menyerang Demokrat. Posisi SBY selaku kepala negara dan ketua Dewan Pembina Partai Demokrat menjadi sulit untuk membela diri dan membersihkan nama partai yang sudah tercemar.

 

Karena isu politik cenderung lebih menguasai panggung, maka hukum pun “dipaksa” masuk ke wilayah politik. Ditengah upaya KPK yang sedang bekerja, sejumlah pihak mendesain isu Century dan Hambalang kewilayah politik. Tidak kurang, sejumlah orang hukum (pengamat dan praktisi) ikut-ikutan masuk dalam isu ini.

 

Salah satu contoh adalah Hambalang. Penahanan mantan ketua umum partai Demokrat, Anas Urbaningrum oleh KPK pada Jum’at (10/1/2014) diprotes oleh kuasa hukum Anas. Mereka mempersoalkan frasa “sejumlah proyek lain” yang tertera dalam surat panggilan. Bahwa frasa tersebut masih abstrak sehingga mendorong Anas tidak menghadiri panggilan pertama dan kedua. Mereka mendesak KPK menjelaskan frasa sejumlah proyek lain tersebut, dan mendesain isu seolah-olah Anas dizolimi, kasus anas dipolitisasi, dan bahwa Anas adalah korban “pengadilan politik”.

 

Benarkah seperti itu? Baik, kita akan mendiskusikan ini, agar isu Hambalang tidak menjadi liar. Pertama, KPK adalah lembaga penegak hukum dengan fungsi pemberantasan korupsi. KPK menjerat Anas dengan pasal gratifikasi dalam UU TPK terkait kepemilikan mobil Toyota Harier yang diduga diperoleh secara tidak wajar. Sangkaan ini berasal dari pengembangan dan pendalaman kasus yang dilakukan KPK beserta sejumlah bukti pendukungnya.

 

Apakah kasus Anas merupakan rekayasa politik atau hanya untuk menaikan popularitas seorang Abraham Samad? Itu kekeliruan besar. KPK tidak main-main dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka, karena KPK tidak berwenang menghentikan proses penyidikan yang sementara berlangsung. UU KPK melarang KPK menghentikan proses penyidikan dan penuntutan sebuah perkara TPK. Penetapan tersangka, bukan hanya berdampak hukum pada subjek hukum yang bersangkutan, namun juga menyangkut nama baik dan integritas lembaga (KPK). Patut dicatat, sejak KPK terbentuk, tidak ada seorang tersangka TPK yang divonis bebas di pengadilan Tipikor.    

 

Kedua, terkait frasa “proyek-proyek lain” yang diprotes oleh kubu Anas. Pasal 51 ayat 1 Kitab Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan “Untuk rnempersiapkan pembelaan: a). tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.”

 

Apa maksud pasal tersebut?  Tafsir Pasal tersebut sudah jelas, bahwa proyek dimaksud akan dijelaskan setelah tersangka menghadiri panggilan pemeriksaan. Disitu penyidik akan menjelaskan sangkaan pasal dan materi kasus yang menjeratnya. KUHAP mengatur bahwa seseorang yang sudah ditetapkan sebagai tersangka wajib menghadiri panggilan pemeriksaan. Sehingga benar ketika KPK mengancam akan menerapkan prosedur pemanggilan paksa jika sampai tiga kali dipanggil tidak hadir, itu diatur dalam KUHAP.

 

Patut juga dicatat bahwa, pemeriksaan itu bukan cuma prosedur hukum acara, namun juga untuk ,menghormati hak asasi tersangka. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) masih berlaku. Anas masih memiliki ruang untuk membela diri dan membuktikan dirinya tidak bersalah. Yang salah jika dalam pemeriksaan, penyidik KPK langsung melakukan penahanan dengan tidak menjelaskan pasal sangkaan serta proyek-proyek terkait

 

Ketiga, apakah fakta hukum bisa dikaburkan dengan opini? Jelas tidak. Korupsi adalah wilayah hukum, bukan politik. Sehingga sangat keliru jika sejumlah pihak mencoba menggiring isu hukum ke wilayah politik. Ironisnya, yang terlibat dalam penggiringan isu ini adalah juga dari kalangan hukum sendiri.

 

Hukum akan sulit ditegakkan, jika kalangan hukum pun membuat “tafsir menyesatkan” terhadap ketentuan yang sudah jelas. Jadi berhentilah membodohi masyarakat dengan opini menyesatkan, kita tunggu proses hukum yang masih berjalan.   

 

 Dimuat di Koran FAJAR, Makassar, Senin (13/1/2014)

 

Tentang wiwinsuw4ndi

Wiwin Suwandi. Lahir di Buton ( Sultra) 9 Mei 1985. Menamatkan pendidikan dari SD-SMA di kota kelahirannya. Menjadi mahasiswa program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Unhas pada tahun 2003 melalui jalur matrikulasi dan menamatkan studi pada 9 September 2009. Aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Sempat meniti karir jurnalistik sebagai wartawan kampus pada Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH). Menjabat sebagai Pimred Buletin Eksepsi Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH) pada tahun 2004. Ketua LPMH-UH pernah disandangnya pada tahun 2005. Menjadi Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Makassar membuatnya sering berkeliling Pulau Jawa dan membangun komunikasi dengan mahasiswa di kampus-kampus di Jawa. Menjabat sebagai Koordinator Law and Advokasi Asian Law Student’s Association (ALSA) KLI Unhas tahun 2006, Koordinator Hukum dan Advokasi Ikatan Mahasiswa Kabupaten Buton (IMAKAB) dipegangnya pada tahun 2006. Sempat menjadi ’pengembara’ dalam rangka penelitian skripsi di kantor Komnas HAM Pusat dan Balitbang HAM Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta pada bulan April-Mei 2009. Menjadi staf peneliti pada Pusat Studi dan Pengkajian HAM (PSP-HAM) dan Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas. Menjadi editor Modul Hukum Laut dan Hukum Internasional yang dipakai sebagai bahan ajar pada Fakultas Hukum Unhas. Pada tahun 2008. Menjadi editor buku Hukum Internasional terbitan Fakultas Hukum Unhas. Pada April-Oktober 2008 bergabung dalam Tim Riset Assesment Report Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), kerjasama PSP-HAM Unhas dan ICMC di 6 propinsi (Sulsel, Sulut, Jatim, Kaltim, NTT, NTB). Sebagai intelektual muda, tulisannya sering ’nongkrong’ di koran-koran lokal seperti FAJAR dan TRIBUN TIMUR. Diantaranya; Indonesia: Republik dengan Konstitusi Bunglon (Tribun Timur), Surat Untuk Wakil Rakyat (Tribun Timur), Demokrasi dan Regenerasi Koruptor (Tribun Timur), Pemberantasan Korupsi: Antara Das Sollen dan Das Sein (FAJAR), Penegakan Hukum: Antara Law in Book dan Law in Action (FAJAR), Demokrasi Jahiliyah (FAJAR), Memaafkan Sri Mulyani;Bergesernya Teori Rule of Law (FAJAR), Diskriminasi Konstitusi dalam Pemenuhan Hak Sipol dan Ekosob (Majalah Konstitusi terbitan MK RI edisi Februari 2010) serta beberapa tulisan lainnya yan bertebaran di media massa lokal..
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar