Menakar Kualitas Calon Wakil Rakyat

Media Indonesia, Kamis 10 APril 2014

Wiwin Suwandi

Pengamat Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin, Makassar. Peneliti Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas.

Gegap gempita pemilu menyebar seantero negeri. Mesin parpol sudah bergerak sejak jauh hari untuk mengkampanyekan partai dan tokoh yang dinilai layak jual dan mampu menjaring suara massa secara massif.  Pemilu legislatif tersisa beberapa hari lagi. Pada 9 April nanti, kita akan menuju bilik suara untuk memilih figur yang kita yakini layak untuk mewakili aspirasi kita di parlemen. Sementara tiga bulan kemudian, pada 9 Juli, kita akan memilih pemimpin yang akan menakhodai bangsa ini selama lima tahun kedepan.  

Memang benar, bahwa salah satu ukuran kesuksesan pelaksanaan pemilu adalah kinerja penyelenggara pemilu; KPU dan Bawaslu. Sejauhmana KPU dan Bawaslu serta perangkat dibawahnya bekerja secara maksimal dan independen berdasarkan ketentuan perundang-undangan.

Namun juga perlu diingat, bahwa pemilu bukan saja soal regulasi dan hitung-hitungan angka; jumlah parpol peserta, besaran biaya kampanye, partisipasi pemilih atau ukuran kuantitas lainnya. Pemilu hendaknya dilihat dari satu desain besar filosofi bernegara. Sejauhmana hasil pemilu teruji secara kualitas. Salah satunya dengan mengevaluasi kinerja wakil rakyat. Terkait evaluasi ini penting, agar posisi daulat rakyat tidak tereleminasi kepentingan elit semata.

Cacat Wakil Rakyat

Selama pelaksanaan dua kali pemilihan umum; 2004 dan 2009, kritik terhadap kinerja wakil rakyat sangat lantang disuarakan terhadap tiga fungsi yang dijalankan; legislasi, pengawasan dan anggaran. Ketiga fungsi ini dipandang tidak maksimal, hingga pada satu kesimpulan yang ekstrim; gagal.

Dalam bidang legislasi, banyaknya undang-undang yang rontok di Mahkamah Konstitusi (MK) menimbulkan kritik terhadap kualitas anggota dewan hasil pemilu. Padahal tidak sedikit dari 560 anggota dewan ini memiliki pangkat akademik yang tinggi, mulai dari magister, doktor, hingga profesor.

Pada tahun 2012 misalnya, sebanyak 29 persen produk undang-undang dibatalkan MK. MK menyidangkan 97 permohonan pengujian undang-undang. Dari jumlah itu, sebanyak 30 permohonan dikabulkan MK (artinya UU tersebut dibatalkan). Angka yang hampir setara dengan jumlah RUU yang disahkan menjadi UU dalam prolegnas tahunan.

Undang-undang yang dibatalkan MK itu menyentuh soal aspek formil dan materil. Lebih banyak pada aspek materil atau muatan substansi. Dengan demikian kita bisa mengukur kualitas anggota dewan yang dibawah rata-rata.

Target legislasi juga gagal diwujudkan. Bahkan tidak sampai setengah dari target undang-undang yang ditetapkan dalam prolegnas. Pada masa kerja DPR periode 2004-2009, sebanyak 248 RUU telah disahkan sebagai agenda legislasi DPR. Namun realisasinya DPR hanya mampu mengesahkan rata-rata 36 RUU pertahun. Artinya, selama lima tahun, DPR hanya mampu menyelesaikan 180 RUU menjadi UU. Sangat jauh dari target prolegnas.

Penyakit itu kambuh lagi pada DPR periode 2009-2014. Sebagai contoh, target legislasi DPR untuk tahun 2010 sebanyak 70 RUU prioritas. Namun realisasinya hanya 18 RUU yang disahkan menjadi UU. Dari 18 RUU tersebut, hanya 8 UU yang masuk dalam daftar Prolegnas, sementara sisanya adalah UU kumulatif terbuka, seperti UU yang terkait dengan APBN serta UU ratifikasi dengan negara lain. Artinya, DPR masih memiliki tunggakan 41 RUU yang tidak selesai.

Pada fungsi anggaran (budget). Terbukti jika fungsi ini banyak disalahgunakan. Terbongkarnya kasus korupsi yang melibatkan dua anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Wa Ode Nurhayati dan Nazaruddin menguatkan tesis bahwa Banggar DPR hanya menjadi “mesin ATM Parpol”. Belum lagi kasus lain yang diduga melibatkan anggota Banggar DPR yang sementara disidik oleh KPK.

Bahkan dalam kasus korupsi Dana DPID yang melibatkan Wa Ode, anggota DPR jauh keluar dari batas kewenangannya. Anggota DPR sampai mengurusi hal teknis pengerjaan proyek DPID yang merupakan wilayah eksekutif. Lebih mengagetkan lagi ketika perusahaan pelaksana proyek di daerah yang menggunakan dana DPID adalah perusahaan anggota DPR. Ini sudah masuk pada indikasi KKN.    

Masalah juga muncul pada aspek pengawasan. Banyak isu-isu strategis yang seyogianya menjadi ruang bagi DPR untuk melakukan fungsi pengawasan yang efektif namun tidak digunakan. Ini diakibatkan karena fungsi pengawasan yang merupakan kewenangan konstitusional DPR tereliminasi oleh adanya Sekretariat Gabungan (Setgab). Akumulasi kepentingan yang dikelola dalam Setgab ini telah mereduksi fungsi pengawasan DPR yang merupakan kewenangan konstitusional DPR yang bersumber dari konstitusi (UUD 1945) dan mandat konstituen (rakyat) yang memilihnya. Akibatnya kepentingan rakyat terabaikan.

Mirisnya kinerja wakil rakyat ini berbanding terbalik dengan besarnya alokasi anggaran yang diberikan APBN. Catatan dari Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menyebutkan bahwa total anggaran DPR periode 2004-2009 sebesar Rp 6,54 triliun. Sekitar Rp 3,8 triliun anggaran itu habis untuk belanja barang dan kebutuhan operasional, dan 30 persen anggaran untuk tunjangan, gaji, dan honor. Penyerapan aspirasi masyarakat hanya 0,2 persen (www.antikorupsi.org).

Fakta tersebut belum termasuk dengan kebiasaan buruk anggota dewan yang suka membolos rapat, tidur, atau asyik mengutak-atik gadget sambil bermain video game saat rapat sedang berlangsung. Ironisnya, lebih dari separuh anggota DPR sekarang mencalonkan diri lagi.

Menakar Kelayakan

Kondisi demikian memunculkan satu pertanyaan besar, apa yang diharapkan pada Pemilu 2014 ini ketika anggota DPR dengan kualitas yang sama kembali mencalonkan diri dan menawarkan janji-janji manis kampanye?

Selama ini konsep pemilu kita terjebak pada mekanisme electoral, apakah soal parliamentary treshold maupun presidential treshold. Dua isu utama ini yang selalu menimbulkan kegaduhan politik pada setiap pembahasan paket undang-undang politik; UU Parpol, UU Pilpres dan UU MD3. Padahal persoalan pemilu tidak sesederhana dan sesempit itu, karena jika demikian, kita hanya melaksanakan pemilu kuantitas yang hanya berputar pada angka dan data, bukan pemilu berkualitas.

Karena kualitas pemilu bukan diukur pada sukses tidaknya KPU dan Bawaslu menyelenggararakan pemilu serta regulasi terkait pemilu itu dilaksanakan dengan baik, tapi sejauhmana hasil dari pemilu itu dapat mewujudkan masyarakat yang adil sejahtera sebagaimana amanah Pancasila dan UUD 1945.

Pada titik ini kemudian gugatan terhadap kinerja wakil rayat itu muncul. Untuk mempertanyakan kinerja wakil rakyat yang katanya memperjuangkan nasib rakyat itu, sementara pada kenyataannya mereka abai terhadap kebutuhan rakyat. Jadi seharusnya, sebelum para wakil rakyat itu kembali hadir dihadapan konstituennya dengan ribuan janji manis kampanye, mereka harus mempresentasikan proposal kinerja mereka dihadapan konstituennya. Pada saat itu, baru rakyat akan menilai layak tidaknya mereka kembali dipilih (diutus) untuk memperjuangkan kepentingan mereka, rakyat sang pemilik kedaulatan.

 

 

Tentang wiwinsuw4ndi

Wiwin Suwandi. Lahir di Buton ( Sultra) 9 Mei 1985. Menamatkan pendidikan dari SD-SMA di kota kelahirannya. Menjadi mahasiswa program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Unhas pada tahun 2003 melalui jalur matrikulasi dan menamatkan studi pada 9 September 2009. Aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Sempat meniti karir jurnalistik sebagai wartawan kampus pada Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH). Menjabat sebagai Pimred Buletin Eksepsi Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH) pada tahun 2004. Ketua LPMH-UH pernah disandangnya pada tahun 2005. Menjadi Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Makassar membuatnya sering berkeliling Pulau Jawa dan membangun komunikasi dengan mahasiswa di kampus-kampus di Jawa. Menjabat sebagai Koordinator Law and Advokasi Asian Law Student’s Association (ALSA) KLI Unhas tahun 2006, Koordinator Hukum dan Advokasi Ikatan Mahasiswa Kabupaten Buton (IMAKAB) dipegangnya pada tahun 2006. Sempat menjadi ’pengembara’ dalam rangka penelitian skripsi di kantor Komnas HAM Pusat dan Balitbang HAM Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta pada bulan April-Mei 2009. Menjadi staf peneliti pada Pusat Studi dan Pengkajian HAM (PSP-HAM) dan Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas. Menjadi editor Modul Hukum Laut dan Hukum Internasional yang dipakai sebagai bahan ajar pada Fakultas Hukum Unhas. Pada tahun 2008. Menjadi editor buku Hukum Internasional terbitan Fakultas Hukum Unhas. Pada April-Oktober 2008 bergabung dalam Tim Riset Assesment Report Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), kerjasama PSP-HAM Unhas dan ICMC di 6 propinsi (Sulsel, Sulut, Jatim, Kaltim, NTT, NTB). Sebagai intelektual muda, tulisannya sering ’nongkrong’ di koran-koran lokal seperti FAJAR dan TRIBUN TIMUR. Diantaranya; Indonesia: Republik dengan Konstitusi Bunglon (Tribun Timur), Surat Untuk Wakil Rakyat (Tribun Timur), Demokrasi dan Regenerasi Koruptor (Tribun Timur), Pemberantasan Korupsi: Antara Das Sollen dan Das Sein (FAJAR), Penegakan Hukum: Antara Law in Book dan Law in Action (FAJAR), Demokrasi Jahiliyah (FAJAR), Memaafkan Sri Mulyani;Bergesernya Teori Rule of Law (FAJAR), Diskriminasi Konstitusi dalam Pemenuhan Hak Sipol dan Ekosob (Majalah Konstitusi terbitan MK RI edisi Februari 2010) serta beberapa tulisan lainnya yan bertebaran di media massa lokal..
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar