Pencabutan Perda Melalui Executive Review

Wiwin Suwandi (pegiat tata negara dan anti korupsi)

Tribun Timur (Jum,at 24 Juni 2016) menurunkan berita sikap sejumlah daerah di Sulsel yang mempertanyakan alasan pencabutan Peraturan Daerah (Perda) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Sulsel sendiri tercatat membatalkan 31 Perda karena dipandang menghambat investasi. 31 Perda ini merupakan bagian dari 3.143 Perda secara nasional yang dicabut atau dibatalkan oleh Presiden Joko Widodo dalam keterangan resminya belum lama ini.

Pembatalan ini menimbullkan polemik. Sejumlah daerah menentang dengan mempertanyakan alasan pencabutan. Sebuah sikap yang menarik untuk diamati pasca peralihan rezim dari sentralistik ke desentralistik melalui pemberlakuan kebijakan Otda. Meskipun dalam kenyataannya politik Otda yang diberikan adalah Otda “terbatas”, bukan Otda yang “tidak tak terbatas”. Penulis hendak mengkaji aspek konstitusionalitas pencabutan Perda melalui executive review.

Tafsir UU Pemda

Peraturan Daerah (Perda) Propinsi/Kab/Kota adalah produk hukum yang dibuat oleh pemerintah daerah (Propnsi/Kab/Kota) bersama Dewan Perwakilan  Rakyat Daerah (Propnsi/Kab/Kota) sebagai “satu kesatuan pemerintahan daerah” (Pasal 1 ayat (2) UU No 23/2014). Dalam hierarki perundang-undangan, Perda dibawah UUD, UU, Tap MPR, PP, dan Perpres (Pasal 7 ayat 1 UU No 12/2011). Oleh karenanya, Pembuatan Perda harus merujuk dan tidak boleh bertentangan dengan payung hukum diatasnya, sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat 1 UU No 12/2011 diatas. Dalam hukum, hal ini dikenal dengan asas lex superior derogate legi inferior.

Selama proses pembuatan rancangan Perda (Ranperda), UU Pemda memberikan kewenangan executive review kepada Mendagri dan Gubernur untuk mengasistensi (sinkronisasi dan harmonisasi) draft Ranperda sesuai kewenangan masing-masing. Mendagri terhadap draft Ranperda Propinsi (Pasal 245 ayat (1), dan Gubernur terhadap draft Ranperda Kab/Kota (Pasal 245 ayat 3). Executive review adalah uji materi terhadap produk hukum yang bersifat hierarkis yang dibuat oleh eksekutif dari Pusat hingga daerah. Dalam konteks ini yang diperkenalkan istilah “control internal” yang dilakukan oleh pihak itu sendiri terhadap produk hukum yang dikeluarkan baik yang berbentuk regeling (peraturan) maupun beschikking (keputusan) (Effendi Lotulung; 2000). Jadi pembatalan Perda ini merupakan bentuk executive review sebagai wewenang eksekutif.

Persoalannya, UU Pemda memuat titik singgung terkait kedua wewenang ini. Pada satu sisi, menugaskan pemerintah daerah propinsi, dalam hal ini Gubernur untuk melakukan sinkronisasi dan harmonisasi terhadap perda dalam lingkup daerah otonominya, tapi pada saat bersamaan juga memberikan wewenang kepada Gubernur mencabut Perda tersebut. Hal mana UU Pemda juga menugaskan Kemendagri untuk melakukan harmonisasi, sinkronisasi terhadap Perda Propinsi (Pasal 245 ayat (1) sekaligus juga bisa membatalkan (Pasal 251 ayat (1).

Sehingga dalam kaca mata politik Otda, UU Pemda memberikan “kuasa ganda” kepada Kemendagri dan Gubernur; sebagai pembentuk perda secara pasif (dalam bentuk sinkronisasi dan harmonisasi), sekaligus aktif (mencabut Perda). Padahal Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 telah memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan melakukan uji materi terhadap peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, dalam hal ini adalah Perda Propinsi/Kab/Kota.

Perbedaannya, jika judicial review terhadap Perda oleh MA untuk menguji ada tidaknya konflik norma (materil), serta menguji aspek formalnya, sedangkan executive review oleh pemerintah dalam hal tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang lebih tinggi daripada peraturan daerah tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum.

Dalam praktek pembuatan Perda Propinsi/Kab/Kota, UU Pemda No 23/2014 menempatkan.  Gubenur sebagai “wakil Pemerintah Pusat”. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari konstruksi Pasal 18 UUD 1945 pasca amandemen yang membagi daerah; Pusat, Propinsi dan Kab/Kota dalam nafas “negara kesatuan” (Belanda: staatvormen). Sehingga hubungan antara Presiden, Mendagri, dan Gubernur adalah hubungan yang hierarkis, kooordinatif dan instruktif.

Hubungan ini kemudian memberikan wewenang kepada Mendagri dan Gubernur untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan Perda Kab/Kota (Pasal 245), sekaligus juga berwenang membatalkan Perda (Pasal 252 ayat (2). Pasal ini menyebutkan bahwa  “Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.”

Pasal 252 UU Pemda tersebut memiliki titik singgung dengan Pasal 245 ayat (3) yang memberikan wewenang kepada Gubernur dan Pasal (Pasal 245 ayat (1) yang memberikan wewenang kepada Mendagri untuk melakukan evaluasi terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda). Pasal 252 tersebut berbunyi “Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/wali kota.” Evaluasi dalam hal sinkroninasasi dan harmonisasi perda dengan payung hukum diatasnya dan peraturan terkait lainnya, sebelum perda tersebut ditetapkan oleh Bupati/wali kota.

Dimuta di harian Tribun Timur.

Tentang wiwinsuw4ndi

Wiwin Suwandi. Lahir di Buton ( Sultra) 9 Mei 1985. Menamatkan pendidikan dari SD-SMA di kota kelahirannya. Menjadi mahasiswa program Strata Satu (S1) Fakultas Hukum Unhas pada tahun 2003 melalui jalur matrikulasi dan menamatkan studi pada 9 September 2009. Aktif di berbagai organisasi intra dan ekstra kampus. Sempat meniti karir jurnalistik sebagai wartawan kampus pada Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH). Menjabat sebagai Pimred Buletin Eksepsi Lembaga Pers Mahasiswa Hukum Unhas (LPMH-UH) pada tahun 2004. Ketua LPMH-UH pernah disandangnya pada tahun 2005. Menjadi Sekretaris Jenderal Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Makassar membuatnya sering berkeliling Pulau Jawa dan membangun komunikasi dengan mahasiswa di kampus-kampus di Jawa. Menjabat sebagai Koordinator Law and Advokasi Asian Law Student’s Association (ALSA) KLI Unhas tahun 2006, Koordinator Hukum dan Advokasi Ikatan Mahasiswa Kabupaten Buton (IMAKAB) dipegangnya pada tahun 2006. Sempat menjadi ’pengembara’ dalam rangka penelitian skripsi di kantor Komnas HAM Pusat dan Balitbang HAM Kementerian Hukum dan HAM RI di Jakarta pada bulan April-Mei 2009. Menjadi staf peneliti pada Pusat Studi dan Pengkajian HAM (PSP-HAM) dan Pusat Kajian Konstitusi (PKK) Unhas. Menjadi editor Modul Hukum Laut dan Hukum Internasional yang dipakai sebagai bahan ajar pada Fakultas Hukum Unhas. Pada tahun 2008. Menjadi editor buku Hukum Internasional terbitan Fakultas Hukum Unhas. Pada April-Oktober 2008 bergabung dalam Tim Riset Assesment Report Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking), kerjasama PSP-HAM Unhas dan ICMC di 6 propinsi (Sulsel, Sulut, Jatim, Kaltim, NTT, NTB). Sebagai intelektual muda, tulisannya sering ’nongkrong’ di koran-koran lokal seperti FAJAR dan TRIBUN TIMUR. Diantaranya; Indonesia: Republik dengan Konstitusi Bunglon (Tribun Timur), Surat Untuk Wakil Rakyat (Tribun Timur), Demokrasi dan Regenerasi Koruptor (Tribun Timur), Pemberantasan Korupsi: Antara Das Sollen dan Das Sein (FAJAR), Penegakan Hukum: Antara Law in Book dan Law in Action (FAJAR), Demokrasi Jahiliyah (FAJAR), Memaafkan Sri Mulyani;Bergesernya Teori Rule of Law (FAJAR), Diskriminasi Konstitusi dalam Pemenuhan Hak Sipol dan Ekosob (Majalah Konstitusi terbitan MK RI edisi Februari 2010) serta beberapa tulisan lainnya yan bertebaran di media massa lokal..
Pos ini dipublikasikan di Uncategorized. Tandai permalink.

Tinggalkan komentar